KESAL dan menggigil, Star akan membunuh pemuda itu kalau saja ia tidak ingat untuk berbaik-baik karena masih berhutang padanya. Ia menendang-nendang pada udara di depan pintu, ingin melampiaskan kekesalan tapi menahan diri, ketika sadar ia tak sedang berada di depan sebuah rumah. Tidak mirip.
Star mundur di anak tangga sampai ke tanah yang tergenang air hujan. Lalu memerhatikan bangunan di depannya. Star memang tidak punya ekspektasi ketika datang dengan ide gila untuk mengikuti pemuda itu ke rumahnya, tapi ia kira ia akan pergi ke sebuah rumah normal dimana ibu pemuda itu akan menyambutnya lebih hangat dari yang dilakukan pemuda itu dan memasakkannya sup. Oke, mungkin khayalannya terlalu tamak, tapi jelas tempat ini bukanlah keluar dari khayalannya. Star mengamati. Bangunan itu punya dinding yang bergelombang dan berada setengah meter di atas tanah. Tak ada apapun di bagian depan tempat itu kecuali anak tangga dan terali pegangannya. Dan sepertinya Star tak mengenali bagian kota ini. Sungai, jembatan dan ujung terowongan tua. Ia mulai meragukan keputusannya mengikuti orang tak dikenal dan mengumpati dirinya sendiri karena kebodohan itu.
“Kau sudah puas main hujannya?” Pemuda itu kembali membuka pintu dan berdiri di ambang pintu dengan handuk tersampir menutupi rambutnya. Bajunya telah diganti dengan sweater tipis berlengan kepanjangan dan jins selutut yang pas di kakinya. Star langsung melupakan kekhawatirannya dan menatap dengan kesal.
“Memangnya siapa yang membuatku kehujanan, huh?”
“Tentu saja kau sendiri. Kau lupa apa yang terjadi di pantai tadi?”
Star meniup poninya, menahan kesal. “Jadi, kau akan mempersilakanku masuk atau tidak?”
Hujan terus menderu di antara mereka. Lev menunjuk dengan kepalanya, mempersilakan gadis itu memasuki tempat persemayamannya. Ini pertama kalinya ia membawa orang asing masuk ke kontainernya. Lev sendiri heran mengapa ia melakukannya. Sudah lama sekali sejak ia menarik diri dari dunia sosial dan memutuskan untuk pindah, menyendiri bersama suara air dan jauh dari keramaian kota. Tapi ia dengan sukarela—meski sedikit enggan dengan pilihan katanya, terlibat dengan gadis pembuat onar itu.
Saat gadis itu melewatinya di ambang pintu, Lev menyampirkan handuk di atas kepala gadis itu dan menutup pintu. Mereka sekarang berdiri di sepetak lantai selebar setengah meter yang dua puluh senti lebih rendah dari lantai utama, tempat sepatu dilepaskan. Petak transisi sebelum Star sempat menginvasi tempat privasi Lev. Dengan kakinya, Lev mendorong kotak plastik ke kaki gadis itu.
“Taruh sepatu dan tasmu di situ. Langsung ke kamar mandi dan bersihkan dirimu. Kalau kau ikuti lorong ini...”
Lev masih punya banyak aturan keluar dari mulutnya, tapi Star sama sekali tak mendengarkan. Perhatiannya sudah tertuju pada hal lain. Seluruh ruangan itu sangat aneh baginya. Ia bisa melihat segalanya dari tempatnya berdiri. Dapur, kulkas, meja komputer, rak-rak buku dan penyimpanan, jendela dengan dudukan kursi, serta set perabotan lain yang Star tebak adalah ruang tengah pemuda itu. Dan yang paling menarik baginya, koleksi tanaman dalam pot yang ditata di atas kotak penyimpanan dua tingkat dari kayu. Star sangat tergoda untuk menelusuri bagian sudut ruangan itu dan sudah mengangkat kakinya untuk naik ke lantai kayu, tapi Lev menghentikannya. Pemuda itu memegangi pundak Star dan memutar tubuhnya yang basah ke kiri, tempat satu-satunya lorong di ruangan itu menuntun ke pintu yang diduga Star adalah kamar mandi.
“Tas dan sepatumu, cepat lepaskan. Terus lurus saja ke kamar mandi, oke? Aku tak mau kau menebarkan jejak hujan di lantaiku, kalau kau tak keberatan?”
Meski diucapkan dengan nada semanis mungkin, Star bisa mendengar gerutuan dalam kalimat Lev. Star memasang senyum termanisnya pada Lev, tapi saat berbalik ia memutar bola mata dan tampangnya berubah sengit. Jika Lev mau, Star bisa sekalian masuk ke kotak dan melompat dengan itu sampai kamar mandi agar pemuda itu tak terlalu cerewet tentang lantainya, karena—hei!—mereka ini habis kehujanan. Tentu saja lantainya akan basah! Tapi Lev bahkan tak menunggu sampai ia menghilang di balik pintu untuk mengepel jejak kaki Star. Star jadi semakin merasa kompetitif untuk sekadar mengusili Lev. Gadis itu sengaja mengibas-ngibaskan rambutnya selama berjalan di lorong, menebarkan titik-titik air di lantai dan dindingnya. Ia bisa mendengar pemuda itu meneriakinya sebelum pintu tertutup di belakangnya dan Star tertawa puas.
Satu jam kemudian gadis itu keluar dengan handuk di kepalanya. Mengenakan bajunya yang masih basah dan jelas sekali merasa tak nyaman dengan itu. Ia melihat pintu lorong telah ditutup dan pemuda itu telah menyiapkan pakaian kering di samping wastafel. Star menduga area itu adalah closet pemuda itu karena ada lemari tinggi yang menjulang hingga ke langit-langit, kabinet gantung berisi perlengkapan mandi, obat-obatan dan perban luka yang pintunya diberi cermin besar, dan wastafel dari batu di atas meja. Di bawah wastafel ada mesin cuci kecil yang sangat pas di ruang kecil yang tersisa di bawah meja. Star mengambil pakaian itu lalu kembali masuk ke kamar mandi.
Saat pintu bergeser terbuka, Lev sedang berada di dapur, membuat sepoci teh mint untuk mereka berdua, tapi ia peduli untuk melihat bagaimana hoodie-nya kebesaran dan celananya kepanjangan di tubuh kecil gadis itu. Dan Lev tak berusaha menyembunyikan tawanya sampai Star ingin meninju perut pemuda itu, tapi masih mencoba menahannya.
Kini setelah ia kering dan pemilik rumah sedang sibuk di dapurnya, Star merasa punya waktu untuk menjelajahi tempat itu. Ia langsung ke sudut yang tak jadi dikunjunginya tadi. Kepalanya mengangguk-angguk kagum melihat cara pemuda itu menata barang-barang kecil dan tanaman di sudut itu sehingga terlihat rapi dan estetik. Semuanya dijajar sesuai tinggi tanaman di kotak penyimpanan panjang dari kayu yang terlihat seperti tangga. Di dindingnya, ada pajangan kawat kotak-kotak tempat menggantung foto-foto dengan penjepit kayu. Juga kanvas kain berisi quote perjalanan dan foto lanskap yang ditata naik-turun di sela-sela tanaman gantung.