Starlight

Dawn Solace
Chapter #5

Dog Walker

MESKI begitu, Lev tak bisa bilang ia tak menanti kedatangan gadis itu. Ia heran sendiri mendapati dirinya tak bisa berkonsentrasi pada tugas-tugasnya. Malah, menyibukkan diri pada hal remeh-temeh lain untuk mengalihkan perhatiannya. Ia mengelap setiap inci kontainernya, menyiram dan memindahkan tanaman dalam pot ke tempat yang terkena sinar, bahkan menata ulang letak buku-buku di rak yang sebenarnya sudah rapi. Lalu ketika tak ada lagi yang bisa dikerjakan, ia merasa konyol sendiri dan duduk di window seat sambil memandang ke luar. Garis sungai yang tenang disela tanaman typha yang tumbuh berkelompok di pinggiran sungai. Terlalu tenang, sampai telinganya seperti jadi lebih peka terhadap suara-suara lain di arah sebaliknya. Lev sedikit berharap segerombol remaja muncul untuk berlatih skateboard di luar kontainernya. Hampir lupa pada misinya untuk pura-pura tak ada di rumah.

Yang sepenuhnya disesalinya.

Saat Lev membuka pintu kontainer setelah ketukan yang tidak sabar di pintunya, ia tak bisa berhenti menatap curiga pada sesuatu yang berbulu di belakang gadis itu. Star sebaliknya. Ia masih punya cengiran lebar tersungging di wajah hatinya ketika Lev kembali menutup pintu bahkan sebelum ia sempat mengucapkan ‘hai, aku datang!’ yang telah disiapkannya selama perjalanan. Star mengerjap-ngerjap tak percaya. Tiba-tiba merasa kesal setelah menyadari perbuatan pemuda itu. Ia menendang pintu kayu kontainer Lev dengan ujung sepatunya. Tapi sebelum ia sempat merutuki si pemilik rumah, Lev menyembulkan kepala lagi di celah pintu yang terbuka sedikit.

“Kau mau apa? Sepertinya kau sedang sibuk,” Lev berkata sekenanya tak melepas pandangan dari anjing besar berbulu panjang yang tak bisa disembunyikan di balik kaki kurus gadis itu. Seluruh tubuhnya dipenuhi bulu putih sampai ke ekor tebalnya yang menjuntai di antara dua kaki belakangnya. Matanya yang kecil menatap tajam pada Lev. Ujung hidungnya yang hitam mengkilat mengendus-endus udara dengan sama curiganya dengan Lev.

 “Dan sepertinya kau tidak,” gadis itu membalas. “Kau serius akan bicara seperti itu? Kenapa kau ketus sekali, aku sudah mentraktirmu kemarin—”

Lev menghela napas malas. Jadi gadis itu akan membahas soal kemarin. Sekarang Lev sudah berdiri di bingkai pintu sambil berkacak pinggang.

“Ya, dan kau juga membuatku membayar untuk minumanmu.”

Star mengedikan bahu, tak melihat letak kesalahan yang harus diperdebatkan. Tangannya yang memegang tali rantai anjing bergerak-gerak di udara. “Bukankah itu wajar? Aku membayar makanan, kau minumannya.”

Lev memutar bola mata. “Terserah.” Lalu menambahkan dengan sinis sambil menunjuk dengan hidungnya, “kau tak berencana membawa hewan itu masuk ke kontainerku, kan?”

Seolah merasa dibicarakan, anjing jenis Kuvasz setinggi 70 senti itu menyalak pada Lev tiga kali. Sepertinya tak terlalu bersahabat pada orang asing. Lev bergerak mundur. Lalu Star mengusap-usap belakang telinga anjing itu dan menyuruhnya tenang sebelum beralih lagi pada Lev, cengiran lebar sudah kembali di wajahnya.

“Kenapa tidak? Kau punya tambahan anggota untuk main.”

Lev menggeleng tak percaya. Tanpa menunggu gadis itu datang dengan omong kosongnya yang lain, ia berbalik dan menutup pintu untuk kedua kalinya. Star mendongkol. Darah tiba-tiba naik ke kepalanya karena diperlakukan seperti itu. Ia mengamuk, kakinya menendang-nendang lagi pada pintu yang tak bersalah.

“Dasar makhluk tak berperasaan! Wajahmu sedatar horizon dan hatimu sedingin es di kutub selatan. Cepat buka pintunya!”

Lev membuka pintu lagi setelah diteriaki yang tidak-tidak. Kali ini lebih merasa malas daripada kesal karena sepertinya gadis itu sangat gigih mengganggunya. “Kau tak punya hal baik untuk dikatakan?”

Star meniup poni ratanya yang tipis-tipis, tak menyembunyikan kenyataan bahwa ia kesal dan tak berniat untuk menarik kata-katanya.

Lev menghela napas malas lalu keluar sambil mengunci pintu. Star memandangnya dengan bingung, tapi ia mundur dari anak tangga karena tidak akan muat untuk dirinya, si anjing dan Lev bertiga di sana. Star baru memerhatikan pemuda itu sudah mengganti kaus yang tadi dikenakannya saat membuka pintu pertama kali dengan hoodie berwarna biru. Ia memakai celana jins hitam selutut di kakinya yang terbungkus sepatu selop ringan berbahan kanvas. Pemuda itu berjalan menuruni tangga dengan tangan terbenam dalam saku. Bergerak menjauh sambil menoleh pada Star dan anjingnya agar mereka mengikutinya.

Star memberi isyarat pada anjingnya untuk bergerak. Anjing itu menjilat moncong dengan lidahnya yang basah dan mulai menggerakkan cakar dengan santai. Ia mengangkat hidunganya tinggi-tinggi, membaui udara di sekitar. Bau ilalang, rumput typha dan air mengalir di kejauhan menyembunyikan bau amis ikan-ikan di sungai dangkal. Mengamati dari kacamata monokromnya seekor kupu-kupu terbang melintas dekat mereka. Beberapa warna melebur dan mendetil di bagian-bagian tertentu dalam vistas. Lalu ada suara-suara manusia yang tak dimengertinya di latar belakang yang jauh. Saling tumpang tindih dengan suara binatang di dekat sungai yang tak terlihat.

Star menyusul langkah panjang pemuda itu dengan sedikit berlari. “Wah.. Kau benar akan bersikap seperti ini padaku?”

Melihat Star yang masih sewot di sampingnya, Lev mendengus. Gadis itu punya banyak amarah di tubuh kecilnya.

“Mana mungkin kubiarkan kau menebarkan bulu anjing di seluruh kontainerku. Kau mau membersihkannya?”

“Tentu saja itu bagianmu,” celetuk Star sambil membuang muka, malas kalau disuruh bertanggung jawab.

Lev memerhatikan dengan tatapan sudah menduga gadis itu akan menjawab seperti itu. Jadi ia tak ambil dan berbelok di persimpangan. “Kita ke pantai saja.”

Star masih ingin mengomel di sampingnya, tapi berpikir bahwa itu bukan ide yang buruk. Mereka bisa membiarkan anjingnya berlarian dengan bebas di pantai. Jadi keduanya mengambil jalan tercepat, diikuti si anjing yang berlari-lari kecil di samping Star. Rupanya masih tak ingin berurusan dengan Lev. Lalu tiba-tiba Lev punya kekhawatiran lain di pikirannya. 

“Anjingmu tak menggigit, kan?”

Star tertawa sambil mengelus kedua sisi kepala si anjing dengan gemas. Tiba-tiba ingin menjahili pemuda itu. “Mana ada anjing yang tak menggigit. Lihat, giginya masih utuh dan cantik.”

Lev melirik Star, lalu pada anjing yang mendengkur pelan di depan Star. Tangan terangkat di depan tubuhnya. Seperti tak ingin anjing itu mendekat. “Aku tak mengerti definisi cantik bagimu. Tapi kulihat ini bukan jenis yang sama dengan yang terakhir kali. Kau punya berapa anjing sih?”

Star sedikit bingung, tak merasa pernah membawa anjing ke tempat Lev sebelumnya. “Yang terakhir yang mana? Kau pasti salah mengingatku dengan orang lain. Payah.”

Lupa kalau itu hanya terjadi sepihak ketika mereka belum saling menyapa, Lev tak mau terdengar seperti ia telah memperhatikan gadis itu sebelumnya. Jadi ia membuang pandang ke arah lain. Pantai terlihat di ujung terjauh jalan mereka karena di sepanjang jalan itu tak ada bangunan permanen lain yang menghalangi pemandangan. Lev seperti bicara pada angin.

“Dulu, aku pernah melihatmu dengan Retriever. Di depan toko serbaada.” Ia mendengar langkah gadis itu terhenti di belakangnya, jadi dia menoleh untuk melihat respon gadis itu. “Dulu. Kau kan yang melempar kaca toko itu dengan kotak susu.”

Seketika ingatan datang pada Star, matanya membulat, tapi gadis itu lalu pura-pura tak mengerti. Lev melihatnya melempar pandang ke bawah dengan alis berkerut lalu berjalan mendahului sambil bersiul kecil. “Kau pasti salah ingat. Itu bukan aku.”

Lev menyusul gadis itu sambil menunjuk ke bawah, entah kenapa merasa kompetitif untuk membuktikan dia benar. “Oh ya? Aku bahkan ingat kau mengenakan sepatu yang sama dengan waktu itu.”

Saat ini Star mengenakan sepatu putih berpinggiran tinggi dengan sol tiga senti. Celana pendek sepaha dan jaket jins putih tipis yang kedua bagian bahunya rombeng-rombeng memperlihatkan kaos biru tanpa lengan di dalamnya. Gadis itu punya selera yang cukup konsisten dengan pilihan bajunya. Bahkan untuk tasnya yang sepertinya berbeda namun mirip.

“Kau tak bisa membuktikannya. Aku tak tahu apa yang kau bicarakan. Kau tahu, ingatan sering salah,” gadis itu masih berkelit walau kelihatan sekali berusaha menyembunyikan sepatunya. Ia lalu menoleh ke segala arah untuk mencari topik lain. “Oh! Sepertinya Buffy ingin es krim!”

Gadis itu berlari secepat kilat menarik anjingnya ke arah rombong seorang pria di taman pinggir pantai yang menjual es krim dengan kerucut motif waffle.

“Buffy?” beo Lev, tapi tetap mengikuti gadis berambut ombre itu tanpa terburu-buru. Ia memerhatikan Star memesan dua untuk dirinya sendiri dan anjing yang dipanggilnya Buffy, lalu menunjuk Lev sambil membuat isyarat satu lagi kepada si penjual dengan jemarinya. Ketika Lev datang, dua tangan Star telah penuh dengan es dan pria di depannya menyodorkan sisanya pada Lev, lalu menunggu. Lev mengambilnya dan bersiap makan. Tapi alih-alih berniat membayar, Star malah menatapnya sambil menunjuk si penjual dengan kepalanya. Pandangannya seolah menyuruh Lev untuk segera membayar agar mereka bisa duduk sebelum esnya mencair. Lev tersenyum kikuk pada pria tadi dan tak punya pilihan selain membayar. Lalu Star langsung mencari tempat duduk terdekat di area pejalan kaki itu. Lev terpaksa mengikutinya.

Gadis itu merunduk untuk membiarkan Buffy menjilati satu es di tangannya, lalu menoleh pada Lev yang masih terlihat tak terima. Star tersenyum, lalu membiarkan Buffy mendapatkan semua bagian es krimnya dan menjilati es miliknya sendiri.

Lihat selengkapnya