Starlight

Dawn Solace
Chapter #6

Apel dan Madu

RUMAH pekabungan itu berada di puncak bukit. Ketika melihat ke belakang, barisan rumah berbagai warna dan bentuk menyembunyikan horizon, timbul-tenggelam dan tumpang-tindih dengan tidak rapi. Sangat kecil dibandingkan dengan langit luas di atasnya dan pemandangan gunung di kejauhan. Disela garis putih lebar yang merupakan jalan raya. Ketika memandang ke depan, hanya ada bangunan tua bergaya kuno, berdiri kokoh dengan pilar-pilar kayu tebal, dan barisan tangga yang tak berujung seperti hendak mencapai langit. Tepiannya ditumbuhi bunga-bunga berwarna cerah dan di beberapa titik tersedia tempat istirahat untuk melihat pemandangan. Dengan atap gazebo teduh dan patung-patung air mancur kecil yang menyejukkan. Angin yang berhembus menggoda lonceng angin di rumah pekabungan dengan gemerincing seorang peri.

Star mengabadikan semua pemandangan ini dengan kamera polaroidnya. Perlahan kertas hitam berbingkai putih memunculkan kolaborasi warna yang membentuk figur. Ketika sampai di dalam, ia mengeluarkan bunga dan buah dari tas plastik di tangannya, lalu meletakkan semua foto yang telah kering di depan loker abu. Ia menatap sebentar. Pemandangan di luar telah berubah dari yang diingatnya, tapi guci itu masih sama seperti saat mereka tinggalkan tiga bulan lalu. Pikirannya mulai melayang pada gambaran masa lalu, tapi ia tak mau mengikutinya. Jadi ia memaksakan senyum di bibirnya dan berbalik pergi. Merasa tak akan bisa berkunjung hingga beberapa bulan berikutnya karena kehilangan ini masih berat baginya.

*

 

Tak menyangka akan menjadi bagian dari ‘cara menghabiskan waktu libur’ ala Star, Lev terkejut saat suara gedoran yang begitu tiba-tiba membangunkannya keesokan harinya. Membuat bel yang tak pernah berdering benar-benar telah kehilangan fungsinya. Saat ia meraih jam di meja samping window seat, ia mendapati jam kotak berbahan kayu itu masih berada di angka 11. Ia merutuki Star yang mengganggu tidur singkatnya padahal pemuda itu harus begadang semalaman membuat tugas kampus yang harus dikirimnya pagi ini karena dosennya tak bisa datang mengajar. Lev mengacak-acak rambutnya dan menarik selimut menutupi kepalanya, berharap ia bisa kembali tidur. Tapi suara gedoran di pintu semakin membabi buta dan Lev terpaksa menegakkan diri dengan mata setengah terpejam. Lev mengerjap-ngerjapkan matanya yang perih dan meraba untuk mencari tali roller blind. Matanya semakin memicing ketika sinar matahari menembus masuk dari jendelanya.

“Hoi, buka pintunya!” teriak suara nyaring yang sudah biasa didengar Lev, terdengar tidak sabar karena gedorannya sedaritadi tidak membuahkan hasil.

Lev bangkit, dengan malas berjalan ke pintu dan terkejut dengan kelebat flash yang menyilaukan matanya ketika membuka pintu.

Cheese!”

Star menarik kamera polaroid dari depan wajah Lev dan langsung menyerobot masuk. Ia melepas sepatu sambil mengibas-ngibaskan kertas yang perlahan mengabadikan wajah baru bangun tidur Lev. Ketika sampai di dalam, ia melihat bahwa muka Lev di foto sedikit aneh. Jadi ia menoleh dan melihat tumpukan bantal dan selimut yang masih berantakan di window seat lalu mengerti yang terjadi, tapi tidak berkata apa-apa. Sementara Lev mengacak-acak rambutnya di belakangnya dan beranjak ke dapur. Minum langsung dari botol saking malasnya, baru berbalik untuk menghadap Star yang telah memasang cengiran paling lebar yang pernah dilihat Lev.

 “Lihat apa yang kubawa,” katanya mengangkat kresek besar di tangannya dan meletakkannya di meja bar, “apa kau punya madu?”

Belum sepenuhnya menemukan nyawanya kembali, Lev tak repot-repot bertanya untuk apa dan langsung memberikan setoples besar berisi madu dari kabinet gantung kepada Star, yang menerimanya dengan senang hati. Ia lalu memeriksa apa yang dibawa Star, dan menemukan banyak sekali apel, tapi enggan bertanya karena itu akan menguras tenaganya. Lev mengambil satu dan langsung memakannya tanpa mencucinya. Sementara pandangannya mengikuti langkah gadis berambut ombre itu ke sudut ruangan, tempat gadis itu menggantungkan foto baru bangun Lev dengan penjepit kayu kecil di kawat jaring. Gadis itu berbalik setelah melambaikan tangan pada potret memalukan itu dan menyempatkan diri menyapa haworthia Lev.

Star lalu kembali pada kresek apel dan madunya dan membawa semuanya ke dapur. Sepertinya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu dengan itu. Ia mengambil baskom stainless dari tempat penyimpanan di bawah meja dapur dan mulai mencuci apel satu per satu di bak cuci. Melirik sekilas saat Lev yang membolak-balik kamera polaroid miliknya seperti baru tahu barang seperti itu eksis di dunia.

“Kau tak berencana mencuci muka? Matamu semerah apel yang kau makan,” katanya menyempatkan bertanya di sela-sela suara air dari keran. Lev menghapus jejak tidur di matanya, lalu meletakkan apel setelah memberinya satu gigitan lagi sebelum pergi ke kamar mandi. Star mendengar suara air dinyalakan dan Lev mengambil waktu pribadi di pagi harinya yang disita Star.

Saat pemuda itu kembali setengah jam kemudian, Star bisa melihat kesadaran telah kembali pada dirinya. Wajahnya segar dan aroma mint pasta gigi tercium dari napasnya. Ujung-ujung rambut bagian depannya masih meneteskan sedikit air yang membasahi daerah sekitar leher kaus abunya. Lev menyingkirkan apel yang tadi ia tinggalkan, lalu duduk di kursi bulat meja bar untuk memerhatikan Star. Gadis itu sedang menyalakan api di kompor.

“Kukira kau sedang menikmati liburanmu,” celetuk Lev dengan tangan masih sibuk menyibakkan air dari rambutnya. Star menoleh pada Lev saat ia beralih untuk mengambil susu dari kulkas.

“Yup,” jawabnya singkat sambil menuangkan susu di panci, menyembunyikan fakta bahwa ia mengambil cuti dengan alasan pribadi.

“Di sini?” tanya Lev dengan sedikit tak percaya.

Tapi Star kembali menjawab ‘yup’ dengan mantap, lalu balik bertanya, “apa yang membuatmu tidur di siang bolong seperti ini?”

“Tugas.” Lev bangkit untuk mendekat pada Star di depan kompor.

Jawaban itu membuat Star ingat kalau Lev seharusnya berada di tempat lain saat ini. “Sepertinya tugasmu sangat banyak. Kau tak pergi ke kampus?”

“Dosenku tak bisa datang. Kau mau buat apa?”

Star menunjuk apel-apel yang sudah dicuci dengan hidungnya, tapi tak berkata apa-apa lagi. Lev mengikuti arah tunjuk gadis itu. Tapi malah melihat pinggiran sink yang berantakan oleh cipratan air. Permukaan marmernya punya corak baru karena kerak dari air yang mengering. Lev setengah tertawa setengah mendengus pada langit-langit. Ia masih terlalu malas untuk hal semacam ini, tapi tak ingin membiarkannya begitu saja. Jadi ia berjalan ke arah sink setelah mengambil lap dari salah satu laci untuk membersihkannya. Lev juga mengangkat wadah apel dan mengelapnya, lalu meletakkan baskom di atas lap. Saat ia berbalik, ia mendapati Star bersiap menuangkan madu begitu saja dari toples besar dan buru-buru mengambil alih.

“Seberapa banyak yang kau butuhkan?” tanyanya buru-buru menarik toples dari mulut panci. Tak mau Star menumpahkan madunya dengan sia-sia ke pinggiran kompor. Ia memerhatikan Star menimbang-nimbang.

“Setengahnya?”

Lev melotot mendengar jawaban Star. Toples itu punya diameter yang sama dengan panci yang digunakan Star dan tingginya tiga puluh senti. Star bilang dia mau menggunakan setengah isinya? Lev harus memberinya perhitungan harga madu di pasaran dan perbandingan rasa manis madu dan gula pada Star setelah ini. Tapi, Lev akan menahannya untuk saat ini. Ia meraih mangkuk dari kabinet di atasnya dan menuangkan cukup madu untuk jumlah susu yang telah dihangatkan Star. Star mencampurnya di panci. Saat Lev meletakkan kembali madu di kabinet—dan ia meletakkannya jauh di sudut terdalam agar Star tak bisa mengambilnya, Star memasukkan banyak gula ke dalam campuran susunya. Lev melihat ini dan bertanya lagi dengan alis berkerut.

“Sebenarnya kau ini mau buat apa sih?”

Star sibuk mengaduk-aduk ke dalam pancinya dengan api medium. “Apel karamel, apalagi?”

Star menjawab seolah yang dia lakukan sudah sangat jelas dan tak perlu dipertanyakan. Sekarang seluruh wajah Lev telah berkerut menatap kerandoman gadis itu, tapi menurut saja ketika Star menyuruhnya melanjutkan mengaduk. Star lalu mengambil tas yang ia tinggalkan bersama kameranya dan mengeluarkan segenggam stik es krim dari dalamnya. Membuat Lev bertanya-tanya apa saja yang dibawa gadis itu dalam tasnya, pasti berantakan sekali di dalam sana. Gadis itu berhenti sebentar untuk mengambil foto Lev yang sedang berdiri di depan kompor, lalu meninggalkan kertasnya berubah sendiri di meja bar. Ia kembali ke meja dapur dan mulai menusuk-nusuk bagian tengah apel dengan sekuat tenaga.

“Jangan berhenti mengaduk,” tambah gadis itu pada Lev tanpa mengangkat kepala.

Lev kembali pada pancinya walau sangsi gadis itu tahu apa yang ia lakukan. Lev bertanya berapa lama lagi ia harus melakukannya dan Star bilang kira-kira dua puluh menit lagi. Yang langsung membuat Lev tertawa merana pada tangannya yang mulai pegal. Saat lima belas menit telah berlalu, Star baru selesai menusuk setengah dari jumlah apel di baskom, lalu Lev bersukarela menggantikannya karena tangannya sudah mulai pegal, sementara gadis itu mengambil alih karamel yang telah berubah warna keemasan di panci.

Melihat sepertinya karamelnya sudah siap, Star mematikan api, lalu mendinginkannya di air dari keran di atas wadah lain. Lalu menunggu dengan satu buah apel yang sudah ditusuk di tangannya. Ia merasakan teksturnya, dan memutuskan sudah saatnya mencelupkan apel. Gadis itu membaluri seluruh permukaan apel dengan cairan karamel dan bertanya pada Lev apa dia punya wadah untuk apel yang sudah jadi. Lalu Lev memberikan yang dibutuhkan gadis itu dari lemari gantung. Star meletakkan apel yang sudah dicelup di tatakan dan menunggu karamel mengeras. Tapi sebagian karamel malah meleleh di wadah. Star menyendoki karamel kembali pada teman-temannya di panci. Berpikir untuk menunggu sedikit lama sampai karamel sedikit mengental. Gadis itu berlari untuk mengambil ponsel dan mengecek resepnya di internet. Bertanya dalam hati apa dia melewatkan sesuatu.

Saat Lev menyelesaikan apel terakhirnya dan mengelap tangannya dengan serbet, Lev melihat tatakan yang kotor oleh lelehan karamel.

 “Karamelmu oke?”

Star berbalik dan menaruh ponselnya sebelum menjawab dengan percaya diri. “Tentu saja. Memangnya apa yang bisa salah dari itu.”

Lev tersenyum singkat, lalu membantu Star mencelup apel satu per satu secara bergantian. Menahan sampai lama dan menaruhnya ke wadah. Setelah beberapa biji, karamel menjadi terlalu keras dan Star terpaksa menghangatkannya lagi di kompor. Dan mulai mencelup dari atas kompor dengan tidak sabar, sebelum memindahkannya lagi untuk didinginkan. Lev pergi untuk meletakkan apel-apel yang sudah jadi ke meja bar. Tapi tergoda untuk mencuri satu dan menggigitnya tanpa sepengetahuan Star. Begitu lidahnya menyentuh permukaan karamel, keningnya langsung berkerut dan ia terpaksa menelan gigitannya dengan enggan. Pemuda itu lalu meletakkan kembali apel berlapis karamel itu ke piring kecil di dekatnya. Lalu berkata tanpa melepaskan pandangan dari apel-apel dengan kadar gluktosa tinggi itu.

“Sebenarnya kenapa kau tiba-tiba ingin membuat apel karamel?”

“Tentu saja karena aku punya banyak apel dan apel paling cocok dengan madu, memang ada alasan lain?” sahutnya tanpa melihat ekspresi Lev yang menyangsikan kata-katanya. Lalu Star terkekeh sebentar. “Kau tak merasa mirip?” Lev memicing tak mengerti, “apel dan madu ini, seperti kita—tentu saja kau apelnya, karena aku manis dan kau sedikit masam. Madu dan apel. ”

Star menunjuk-nunjuk pada dirinya sendiri, lalu pada Lev yang mencibir. Ia berpikir gadis itu pasti sedang melantur, tapi mengingat rasa karamel tadi, Lev juga tak ingin disamakan dengan madu. “Dan semua gula ini—” Lev menghela napas panjang, “sepertinya kau harus bersiap menghabiskan semuanya sendiri.”

Star terkejut. “Kenapa? Kau tak suka? Bagaimana ini, kita sudah membuat banyak sekali.”

Lev memerhatikan Star mengelap tangannya yang belepotan karamel ke belakang bajunya, tapi menahan diri untuk berkomentar. Star mendekat dan menggigit apel Lev di tempat yang berbeda dengan gigitan pemuda itu. Wajahnya mengisyaratkan tak ada yang salah dengan apel itu. Malah, ia menyukainya.

“Kenapa kau membeli apel sebanyak itu? Kau melihat ada orang lain yang akan memakannya di sini?”

Star berhenti sebentar. Matanya bergerak-gerak seperti mencari alasan. Ia berkata dengan nada aneh yang mencurigakan. “Nenek yang menjualnya padaku ramah sekali, jadi, begitulah. Kau tak suka? Padahal menurutku ini lezat.”

Perempuan, pikir Lev dalam hati. Lev mendengus. Ia masih menimbang kata-kata penolakan yang tidak akan terdengar terlalu kasar, saat melihat binar lain di wajah Star, sesuatu yang khas ketika gadis itu punya ide baru di pikirannya. Gadis itu berkata dengan nada riang.

“Kalau begitu ayo kita ke taman!”

*

 

Meskipun sedikit ragu dengan ide Star, Lev menurut saat mereka mengepak seluruh apel karamel itu untuk dibawa ke taman bermain. Star bilang tak ada salahnya membagikan sesuatu yang berlebih pada orang lain. Tapi saat Lev bilang tak ada orang yang akan menerimanya dengan cuma-cuma tanpa alasan, Star berkeras kalau anak-anak akan menerimanya dengan senang hati. Jadi mereka memutuskan segera pergi ke taman bermain satu-satunya di daerah itu.

Lihat selengkapnya