Starlight

Dawn Solace
Chapter #8

Chips&Burger

LEV tak mengerti konsep bermain sambil bekerja dalam kepala Star, tapi ia mengikuti juga karena ternyata cengkeraman gadis itu bisa sangat memaksa. Gadis itu sudah menariknya mengitari setengah kota ketika perhatiannya teralihkan dengan sesuatu di salah satu etalase toko. Mereka kini berada di area pertokoan yang lebih ramai, di antara blok ini, ada area taman tempat orang-orang beristirahat sambil menikmati secangkir kopi dingin setelah lelah berbelanja. Lev tak menyangka gadis itu akan menariknya melewati tempat itu, dan lebih tak mengira lagi ketika gadis berambut ombre itu benar-benar menggeretnya memasuki salah satu toko.

“Kau bekerja paruh waktu di sini juga?” Lev bertanya mengingat bagaimana Star waktu itu menyeretnya ke minimarket tempat gadis itu bekerja. Tapi gadis itu menggeleng dengan santai.

“Tidak.”

“Lalu untuk apa kita ke sini?”

“Tentu saja untuk melihat-lihat,” sahut Star santai, ia mengerling pakaian-pakaian yang digantung berderet di salah satu sudut, tangannya sibuk menyibak pakaian pajangan satu demi satu. Lev memerhatikan tingkah gadis itu.

“Kukira kau akan pergi kerja sambilan lagi, kau punya waktu untuk ini?”

“Tentu saja.” Gadis itu terlihat senang mendengar pertanyaan Lev, yang berarti ia harus menjelaskan satu prinsipnya pada pemuda itu. “Jam kerjaku baru akan dimulai tiga puluh menit lagi. Tempatnya tak jauh dari sini. Kita bisa ke sana dengan cepat.”

“Kita?”

Star berdeham menginyakan. “Bukannya itu sudah jelas, itu sebabnya kau mengikutiku, kan?”

Lev langsung mendengus. “Kau yang menarikku dengan keras.”

“Jangan mengada-ada, kau kan cowok.”

Maksud Star adalah tenaga Lev tak mungkin kalah dengan cengekeramannya, jadi pasti Lev masih bisa menolak jika memang tak mau. Tapi Star tak repot menjelaskannya karena menganggap Lev pasti mengerti. Lev menggigit bagian dalam mulutnya karena mulai menyadari sikap gadis itu tidak pernah berubah. Dia selalu berlaku dan berasumsi seenaknya. Tak mau memperpanjangnya, Lev membuang pandang sambil menyelipkan kedua tangannya di saku. Ikut memerhatikan baju-baju yang sesekali menarik perhatian Star. Gadis itu punya selera berpakaian yang konsisten. Ia terus tertarik dengan jaket jeans rombeng dan denim dengan banyak patch bergambar. Jika Lev ingin menggambarkan selera Star, gadis itu pasti penggila kaus bergambar yang pas di tubuh, outer, dan celana pendek sepaha.

“Bukankah pekerja sambilan harus datang lebih awal? Kau tidak punya tugas yang harus dilakukan sebelumnya?”

“Hanya kalau shift-ku pagi.”

“Bukankah kau terlalu santai?”

Star tiba-tiba berhenti dari kegiatannya dan menatap Lev dalam-dalam. “Bukankah kau tidak pantas menyebutku begitu? Kau orang paling santai di antara kita berdua. Kau langsung kembali ke kontainer begitu pulang dari kampus, setelah itu aku ragu kau akan keluar lagi setelah nyaman di sarangmu. Kau tak boleh bilang aku santai, aku sangat sibuk bekerja di sana-sini.”

Tatapan Star sangat mengganggu, dalam suaranya terdengar jelas dia sedang membanggakan dirinya. Tapi sebelum Lev bisa berkomentar, gadis itu menyeringai dan berlalu ke rak lainnya. Tiba-tiba Lev merasa tak terima. Star seperti mengatakan bahwa ia pengangguran dan malas. Tanpa sadar nadanya tinggi saat meneriaki gadis itu.

“Hei, aku juga sibuk tahu. Kau tak tahu seberapa sibuknya anak kuliahan?”

“Tentu saja tahu,” sahut suara Star bagian rak yang lain, tapi keberadaannya nihil dari pandangan Lev.

Pemuda itu mencoba menyusul ke arah yang tadi Star tuju, tapi saat menengok di seksi itu, Lev tak juga melihat batang hidungnya. Ia kembali mencari di bagian rak selanjutnya, tapi saat ia merasa melihat kepala berambut biru Star, ia kembali kehilangan sosoknya ketika sampai. Lalu ia sadar ia sudah masuk pada permainan lain gadis itu. Hanya saja, ia tak menyangka harus bermain petak umpet di toko pakaian di sore hari seperti ini. Tempat orang-orang seusia mereka sibuk melakukan kegiatan orang dewasa di pertokoan yang bisa dibilang cukup elit ini. Ayolah, Lev membatin dalam hatinya. Ia baru saja ingin mengakhirinya dengan pergi dari toko itu ketika tubuh mungil gadis itu menyembul dari salah satu seksi dengan kaca setinggi badan di dekat pintu toko.

“Lev! Apa yang kau lakukan di situ? Ayo!”

Mendengar suara gadis itu sangat riang dengan gelagat yang menyuruhnya menyusul, Lev mau tak mau mengesampingkan rasa kesalnya tadi. Kalau gadis itu tak muncul juga, mungkin Lev akan memutuskan akan berhenti bermain dengannya. Karena—hei—siapa yang suka ditinggal sendiri di keramaan di tempat yang tak pernah dikunjungi? Mungkin sikap Lev terlalu mendramatisir, tapi begitulah poinnya.

“Memangnya siapa yang membuatku di sini,” Lev bergumam pada dirinya sendiri sambil menyusul gadis itu meninggalkan toko.

Saat mereka di luar, Star menoleh pada bayangannya di kaca etalase, lalu membenarkan rambutnya dengan santai. Wajahnya seperti tak bersalah, membuat Lev ingin mengerjainya. Tapi Lev selalu kalah timing dengan Star. Gadis itu melirik pada jam di pergelangan tangannya, matanya langsung melotot. Saat menoleh pada Lev lagi, pemuda itu sudah bisa menebak ada hal gila lain yang akan dilakukannya melihat tatapan penuh semangat di matanya yang membesar. Tiba-tiba gadis itu mencengkeram pergelangan tangannya lagi.

“Kalau kau sudah selesai pemanasan, ayo!”

Apa? Lev merasa tak yakin dengan kata-kata Star. Ia mau tak mau terkejut ketika kali ini Lev merasakan tangannya ditarik lebih erat. Bukan menyeretnya, Star memaksanya untuk berlari.

“Kau bilang kau masih punya waktu?” protes Lev walaupun kakinya berusaha menyeimbangkan dengan kecepatan gadis itu.

“Memang. Kalau kita berlari. Ayo cepat, kalau tidak aku bisa terlambat.”

Lev merasa tertipu. Ia menatap tajam pundak gadis itu yang berguncang-guncang seiring derap mereka. Napasnya terengah-engah karena tak terbiasa berlari. “Makanya kan tadi aku sudah bertanya padamu. Kenapa kau malah main petak umpet di toko itu sih?”

Star menoleh mendengar Lev sudah terengah-engah padahal mereka baru mulai berlari. Senyumnya yang lebar lebih seperti seringai yang menyindir bagi Lev.

“Kalau kau masih punya tenaga untuk protes, sebaiknya kau lari lebih cepat.”

Lev tak menyahut lagi setelah itu. Ia membiarkan Star berlari mendahuluinya untuk menunjukkan jalan. Sepertinya gadis itu tetap tak mau melepaskan pergelangan tangan Lev seolah ia bisa saja berhenti mengikutinya dan berniat kembali ke kontainer sendirian. Mereka berlari cukup jauh; melewati bagian kota yang cukup padat, taman kota, lalu mengambil jalan di antara ruko-ruko bertingkat bergaya antik. Mereka berlari di beberapa tikungan lagi sampai akhirnya Star berhenti dan melepaskan tangannya. Pada saat itu Lev sudah bercucuran keringat dan mulutnya megap-megap dalam usahanya mengatur napas. Sebelah tangannya sibuk mengusap peluh yang membuat poninya menempel di jidat.

Lihat selengkapnya