Pagi-pagi sekali ponsel berdering di samping kepala Lev. Ia masih setengah sadar ketika menerimanya. Matanya bahkan belum sepenuhnya terbuka dan ia menguap lebar setelah mengerang kecil. Awas saja kalau itu adalah Star yang menelponnya di jam tak menentu hanya untuk mengatakan ide gilanya yang tak masuk akal.
“Kau sudah bangun?” terdengar suara tenang seorang pria di seberang telepon.
Lev langsung terduduk di tempat tidur. Bahkan tanpa melihat namanya, ia mengenali suara ayahnya. Lev berdeham untuk menyahuti.
“Pulanglah hari ini,” kata suara itu lagi, langsung membuat Lev mual. “Hari ini pengumuman ujian Kevin. Dia mungkin saja masuk kampus yang sama denganmu.”
Lev menimbang akan menjawab apa. Hal itu memang bukan sesuatu yang terlalu besar untuk dirayakan, tapi ibunya pasti akan menggunakannya sebagai alasan untuk mengumpulkan orang-orang dalam satu ruangan yang sama. Lev memutuskan untuk ganti bertanya walaupun sudah tahu jawabannya. “Ayah tak akan datang?”
Ganti orang di seberang telepon terdiam. Lalu sura tawanya yang renyah terdengar, suara yang lama tak didengar Lev. “Kalian harus bersenang-senang. Nah, aku akan menelpon Kevin setelah ini.”
Tahu telepon itu akan segera berakhir, Lev menjauhkan ponsel untuk mematikannya, tapi suara ayahnya memanggil lagi.
“Leo, selamat ulangtahun.”
Pemuda itu tertegun. Lalu suara sambungan diputus dan foto ayahnya menghilang dari layar ponsel. Ia berulangtahun hari ini?
*
Sepanjang pagi itu, Lev merasa sangat aneh. Mungkin karena telepon dari ayahnya atau mungkin karena ia sedang berulangtahun, ia merasa tak bersemangat.
Sudah sangat lama sejak terakhir kali dirinya tak pernah lagi menanti atau tertarik pada hal berbau ulangtahun. Lev bahkan lupa menghitung umurnya kalau bukan untuk keperluan-keperluan formal. Rasanya aneh sekali diingatkan tentang ulangtahun yang bahkan tak ia ingat. Seperti ulangtahun itu milik orang lain. Ditambah lagi, ayahnya menyuruhnya untuk pulang ke rumah. Sesuatu yang jarang ia lakukan dengan sukarela.
Lev terus beradu pikiran dengan kemalasan dan Kevin dalam pikirannya. Walaupun jarang bertemu, dahulu hubungan Lev dan Kevin sangat dekat. Di keluarga mereka yang cukup sibuk, Kevin bergantung pada Lev dalam banyak hal saat masih kecil dan Lev menyukainya karena merasa punya pengikut. Jarak usia yang tidak jauh membuat masa kecil keduanya penuh aksi dan kenakalan anak-anak. Kevin masih berharga baginya, jadi setidaknya ia harus memberi selamat pada adiknya.
Tapi Lev akan menundanya selama yang ia bisa. Untuk sementara, Lev akan mengesampingkan hal itu ke belakang kepalanya. Lev mencari ponsel yang tadi ia lempar sembarangan ke suatu sudut di sekitar tempat tidurnya, lalu mencari kontak Star. Ingin memastikan gadis itu sedang melakukan shift-nya di Chips&Burger sebelum bersiap untuk pergi.
Matahari sudah tinggi di atas kepalanya ketika ia mengunci kontainer. Sudah lewat tengah hari ketika ia menghambur keluar dalam cuaca terik. Perjalanannya terasa membosankan. Jalanan yang lumayan sepi, pantai yang biasa, toko-toko yang sudah dimasukinya berkali-kali bersama Star hanya untuk iseng di sela-sela waktu bermain mereka. Bahkan ketika sampai di kedai makan cepat saji itu, Lev langsung menghempaskan diri di meja bar setelah melambai pada Dom yang berada di dekat bilik telepon. Seolah sinar matahari dan bertambah umur telah menghabiskan energinya.
Mungkin karena dekat dengan jam makan siang, Chips&Burger masih ramai seperti saat pertama kali Lev di sana. Dengan malas Lev mencondongkan tubuhnya ke depan sambil bertopang dagu. Sementara gadis yang dicarinya masih sibuk melayani pesanan di meja lain. Ketika Star kembali setelah menyerahkan nampan kosong dan pesanan yang telah dicatatnya di jendela pesanan, gadis itu merasa heran dengan tampang lesu Lev.
Star bilang, Lev aneh hari ini.
Dari kebanyakan minggu-minggu bermain mereka, Star-lah orang yang selalu mengusulkan permainan dan tempat bertemu mereka. Lev jarang berinisiatif terlebih dahulu. Star orang yang pertama mengirim pesan-pesan dan telepon tak jelas di waktu-waktu tak biasa. Yang tak jarang tak ditanggapi Lev karena topiknya terlalu acak. Tapi siang ini, Lev malah datang padanya padahal mereka tak ada rencana bertemu. Lev sampai menelpon dan menanyakan keberadaannya. Juga berkata bahwa dia butuh sesuatu untuk mengembalikan suasana hatinya. Itu adalah hal kedua. Lev jarang mengungkit suasana hati atau menceritakan masalah pribadinya pada Star. Mau tak mau Star sedikit khawatir setelah pemuda itu memutuskan sambungan telepon. Star juga memerhatikan pemuda itu terus menghela napas sejak masuk ke Chips&Burger.
“Hei, ada apa? Kau tak seperti biasa.”
Gadis itu meletakkan sebelah tangan di konter sambil berbicara pada Lev. Lev bahkan tak menegakkan posisi duduknya saat ia menoleh pada Star, matanya terbuka dengan malas dan ada airmata menitik di sudut matanya karena terlalu banyak menguap.
“Iya, kan? Aku juga merasa begitu. Aku merasa super duper sangat malas hari ini.”
Begitu mendengar pemuda itu membuka mulut, Star tak habis pikir dengan nada dibuat-buat dalam bicaranya yang sedikit manja. Alih alih malas, Lev membuat ekspresi sok imut dengan mengerutkan hidungnya. Matanya setengah terbuka dan mulutnya sedikit dimajukan. Star jadi curiga pemuda itu hanya sedang mencari perhatian. Percuma saja ia khawatir tadi.
“Kau bukannya sedang PMS, kan?” celetuk Star memastikan, mengetuk-ngetuk kening Lev dengan pelan untuk menyadarkannya. Ia menganggap sikap manja Lev sangat bukan dirinya. Lev langsung menepis tangan gadis itu dan mencibir padanya.
“Sialan kau.”
Star nyengir saja karena selama Lev masih bisa mengumpat, berate dia baik-baik saja. Gadis itu mengambil posisi duduk di sebelah Lev. “Terus kenapa kau jadi aneh begini?”
Lev menghela napas lagi tanpa disengaja. “Aku juga tidak tahu. Haruskah aku melakukan bungee jumping untuk mengetes apa aku masih ingin hidup atau tidak?”
Sepertinya Lev terlalu sering bergaul dengan Star sehingga ia mulai mengide seperti gadis itu. Star bermaksud ingin tertawa karena merasa Lev paling tidak masih punya sedikit selera humor, tapi kemudian merasa itu bukan ide buruk.
“Kupikir itu akan menyenangkan, aku akan menemanimu,” seru Star antusias dan bilang ia juga belum pernah melakukannya. Yang langsung disambut delikan tajam Lev. Apa gadis itu tak mengerti kiasan? Sarkatisme? Lev tentu saja belum mau mati jantungan.
Star dengan polos tertawa lagi melihat reaksi Lev. Ia lalu bangkit untuk memberikan Lev asupan makanan untuk mengisi energinya.
“Lalu mana teman-temanmu?” tanya Star lagi saat ia kembali untuk memberi Lev satu gelas besar teh tropikal yang disukai Lev setelah meneriakkan menu yang biasa. Lev memandangnya dengan wajah bingung. “Aku mengirimu pesan untuk membawa teman-temanmu karena ada promo.”
Lev tak tahu itu karena tak sempat mengecek ponselnya setelah menelpon tadi. Pemuda itu mengeluarkan benda persegi panjang itu dan melihat ke dalamnya setelah menyeruput minuman yang langsung menyegarkan tenggorokannya. Ternyata benar gadis itu mengiriminya pesan, tapi ia sudah di sana dan tak ada yang bisa mereka lakukan.
Lalu ia memeriksa hal lain di kotak pesannya. Beberapa pesan panjang dari ibunya yang sama sekali tak ingin ia buka, pesan dari ayahnya untuk ingat pulang nanti malam, pesan pemberitahuan lain, dan satu pesan lain dari temannya. Lev membuka dan membaca sekali lewat dan mengunci ponselnya lagi. Disambut oleh tatapan meremehkan Star yang biasa.
“Apa yang harus kulakukan padamu? Kau pasti tidak punya teman lain selain aku.”
Lev melempar Star melihat bagaimana gadis itu mengucapkannya dengan sangat percaya diri. Tapi tempat umum menyelamatkannya. Alhasil Lev hanya membalas dengan argument yang tak kuat. “Aku punya, tahu.”
Itu memang benar, tapi nyatanya, sudah lama sejak ia hanya menerima undangan bermain bersama Star setelah menarik diri dari teman-temannya. Star mencoba menantangnya lagi dengan ‘kau masih bisa mengirimi mereka pesan untuk datang’, tapi Lev bilang ia tidak tertarik. Star pergi untuk mengambil menu Lev dan bilang ia bisa menunggunya selesai bekerja di meja dekat jendela seperti biasa.
“Kau tak akan menemaniku makan?”
Star melirik pada jemari besar Lev yang mencengkeram pergelangan tangannya. Ia memutar bola mata. “Aku sibuk.”
“Tapi apa yang akan kulakukan sendiri? Aku mungkin akan mati kebosanan,” pinta Lev lagi dengan dramatis.
Star berpikir bahwa ia tak akan pernah terbiasa dengan sisi Lev yang satu ini. Karena, yang benar saja? Star melemparkan delikan sebal padanya. Lev punya makanan, minuman, dan kaktus di jendela. Ia sudah cukup dibekali.
“Berhenti bersikap konyol dan makan makananmu sebelum aku memberikannya pada yang lain.”
Lev memanyunkan bibir. Sebagian dirinya merasa puas karena setidaknya Star merasakan apa yang Lev rasakan saat gadis itu bersikap dramatis padanya. Tapi sisi lain dirinya hanya merasa bosan.
Dengan cepat ia menghabiskan makanannya dan Star datang membawakan gelas yang baru karena melihat pemuda itu sudah berganti posisi beberapa kali karena bosan. Ia terus memperhatikan Star yang sibuk berputar di seluruh penjuru kedai untuk mengantar pesanan. Pada rambut birunya yang diikat kuncir kuda dan poninya yang dijepit di satu sisi. Pada apronnya yang melampaui celana pendeknya di atas lutut.
“Kau bisa main kalau kau bosan.”
“Sendiri?”
Oh, Tuhan. Star meratap lagi. Ia seperti sedang menjaga bayi besar saat harus bekerja. Haruskah ia mengajari pemuda itu untuk bersosialisasi?