STAR berharap Lev tak menjaga jarak dengannya. Ia sudah mengirimi pemuda itu banyak pesan, tapi tak satupun dibalas. Star curiga itu karena Lev mengira Star menguping percakapan dengan adiknya kemarin. Tapi itu tak sepenuhnya benar. Awalnya hanya ingin tahu bagaimana Lev berinteraksi dengan adiknya. Ia selama ini tak tahu Lev punya adik. Bahkan Lev yang saling mengerjai dengan teman laki-lakinya tak terbayang di kepalanya. Jadi rasa penasaran membuatnya menguping pembicaraan mereka. Tapi begitu mendengar adik Lev sedang membicarakan ibu mereka, Star melihat kalau Lev merasa terganggu dan ia memutuskan untuk pergi. Ia sengaja menyalakan keran keras-keras agar tak mendengar percakapan mereka. Menduga hal seperti ini bisa saja terjadi, karena kalau itu Star, ia juga tak mau Lev tahu tentang keluarganya.
Selama sisa shift-nya di minimarket hari itu, Star tak bisa mengalihkan perhatian dari ponselnya yang sepi. Ia memutuskan untuk pergi menemui pemuda itu langsung setelah ini, tapi lalu ponselnya bordering dengan nada pesan masuk. Lev menyuruhnya untuk tak datang hari ini, seolah pemuda itu bisa menebak jalan pikirannya. Star langsung kecewa. Selama sisa hari itu, ia menemukan dirinya terus pergi dengan lamunannya.
*
Star tak akan membiarkan hubungan mereka renggang seperti ini. Jadi ia meminta waktu libur di Chips&Burger dan toko bunga, bahkan membatalkan janji jalan-jalan Buffy sore harinya. Jumat pagi itu Star pergi ke kontainer Lev. Dengan tidak sabar menggedor pintu sambil meneriakkan nama pemuda itu.
Tak butuh waktu lama, Lev membuka pintu. Ia sudah terbangun sedaritadi, dihantui berbagai pikiran negatif karena terus berdiam diri di kontainer. Pikirannya membuat banyak premis dan terus berkembangmenjadi benang benang kusut yang tak ingin diakuinya. Tapi apa sebenarnya yang ia coba sembunyikan? Star telah melihat rumahnya, bertemu dengan ibunya dan adiknya, mereka bahkan berpisah dengan cukup baik hari itu, tapi Lev terus merasa tak tenang ketika mengingat hari kepulangannya. Dalam hatinya ia sangat penasaran sejauh mana Star mungkin berpikir tentang hubungannya dengan keluarganya, tapi yang paling mengganggunya adalah sikapnya yang tak baik. Ia tak mau Star mengira ia memang punya kepribadian yang buruk. Walau sikapnya pada Star selama ini juga tak terlalu bisa dipuji. Dengan Star, ia hanya melakukannya untuk bersenang-senang. Tapi terhadap ibunya, itu berbeda.
Pagi ini hal pertama yang dilihatnya setelah membuka mata adalah Star. Dan Lev masih merasa buruk karena telah menghindarinya selama seminggu terakhir. Tapi sepertinya gadis itu tak ambil pusing karena Star tersenyum sangat lebar di hadapan Lev.
Lev mengenali senyuman itu. Itu senyum jahil yang biasa muncul ketika gadis itu punya pikiran aneh di otaknya. Lev masih mengenakan hoodie abu-abu yang dipakainya tidur dan ingin menikmati teh pagi harinya ketika Star menggedor pintu. Tapi gadis itu tak repot-repot untuk masuk.
“Kau sudah siap rupanya,” sapa gadis itu dan tanpa basa-basi lagi menariknya keluar.
Walau kaget, Lev menyempatkan diri mengunci pintu kontainernya. Pemuda itu membenarkan sepatu yang tadi ia selipkan asal saja saat membuka pintu.
“Kemana?”
Tapi Star tak menjawab dan malah menariknya agar mereka berlari. Gadis itu punya satu tempat di benaknya, dan tempat itu tak terlalu menyenangkan kalau mereka kesiangan. Lev hanya mengikuti dalam diam. Lalu mereka sampai di pinggir stasiun. Lev mengira mereka akan pergi ke tempat yang jauh, tapi gadis itu ternyata hanya ingin menyewa sepeda. Lev terbatuk ketika mendengarnya hanya menyewa satu sepeda berboncengan yang berarti Lev harus mengayuh seluruh perjalanan mereka. Lev protes, tapi gadis itu tak memedulikannya dan mereka pun bertolak ke tempat yang dituju Star.
Tempat itu sangat jauh. Lev jadi menyesal telah mempertahankan harga diri untuk duduk di depan dan tak membiarkan seorang gadis mengayuh untuknya, karena kakinya mulai pegal. Ia sudah lama sekali tak bermain sepeda dan perjalanan mereka menghabiskan waktu dua jam. Rasanya Lev ingin mengumpat Star karena mengerjainya. Sementara gadis berambut ombre pendek itu hanya sibuk berteriak-teriak sambil merasakan angin di mulutnya. Mereka melewati sungai dam besar, jalanan dengan deretan bangunan yang asing, dan perbukitan. Lalu Star menyuruhnya berhenti. Tepat di depan arena parkir dengan tangga naik yang tinggi. Lev tertawa hambar pada dirinya sendiri.
“Kita tak akan ke atas sana, kan?”
Star turun dari boncengannya. “Bagaimana kau bisa tahu? Kau pasti seorang peramal di kehidupanmu yang lama.”
Gadis itu lalu berlari mendahuluinya. Lev mendengus dan memarkir sepeda sewaan mereka di bawah pohon yang teduh, lalu menyusul Star. Lebih parah lagi, Star bersikeras mereka harus berlomba menaiki tangga dengan bermain suit. Di landing pertama, Lev kalah dan ia jadi harus membawakan tas Star hingga puncak. Star selalu curang dengan mengambil dua langkah naik setiap dia menang suit dan Lev hanya bisa geleng-geleng. Tak mempermasalahkannya karena itu mungkin sepadan dengan sikapnya yang menghindari Star selama beberapa hari terakhir. Melihat bagaimana gadis itu selalu punya cara untuk membuat pikiran buruk dan keraguannya menghilang ketika mereka sedang bersma.
Ketika mereka akhirnya berada di atas, angin sejuk menyapa mereka bahkan sebelum mereka bisa mengangkat kepala karena kelelahan. Star menepuk bahu Lev dan pergi berlari lagi. Lev sampai heran ada banyak sekali tenaga di dalam tubuh kecil itu. Lev memerhatikan mereka berada di bukit. Tempat yang sangat luas dan sisi yang berlainan dengan kota yang biasa dilihat Lev. Pemandangan yang terlihat dari bukit itu hanyalah hamparan karpet hijau dan sekumpulan kota di kejauhan. Laut ada di belakang mereka. Di bawah mereka, setelah hamparan rumput yang melandai, ada sepetak bunga liar. Ada anak-anak kecil yang sedang bermain di jarak terjauh mereka dan beberapa orang tua yang menikmati udara segar. Rambut mereka telah berubah putih dan wajah mereka penuh keriput, tapi Lev bisa melihat bahwa mereka sangat damai. Senyum mereka saat berjalan melewati Lev terlihat sangat ramah. Lev ingin tahu bagaimana Star bisa mengetahui tempat itu.