BAHKAN dalam bayangannya, Lev tak mengira kalau cara Star menghiburnya bisa seekstrim ini. Ia melihat warna biru langit, awan dan rumput hijau, bahkan siluet bangunan perkotaan di kejauhan bersatu saat ia menggelinding, membuatnya pusing dan terbentur karena permukaannya yang tidak serata kelihatannya. Saat mencapai dasar, Lev melupakan segalanya selain kekesalan memuncak di dirinya. Ia langsung bangkit duduk dan siap meneriaki Star sambil mengusap-usap kepalanya, persis ketika mendengar gadis di belakangnya ikut berteriak. Lev menoleh dan mendapati gadis itu ikut meluncur di antara rumput dan menabraknya tepat di punggug dengan sepatunya. Membuat bunyi keras sampai Lev khawatir pinggangnya bisa patah. Gadis itu lalu tergelak sendiri dan menghempaskan diri dengan sukarela di antara rerumputan. Tak repot-repot meminta maaf pada Lev. Wajahnya sangat nyaman. Gigi kelincinya tak berhenti menyembul dari senyumnya yang lebar. Lev yakin sebentar lagi sudut-sudut bibirnya bisa benar-benar menyentuh kedua telinganya. Gadis itu menatap langit menyilaukan di atas mereka.
Tak mau harus rebahan di bawah kaki gadis itu, ia menarik kaki Star sampai merosot turun di sampingnya. Tapi bukannya sebal seperti biasa, Star malah cekikikan, sepertinya menikmati perosotan manual itu. Lev tak tahu lagi bagaimana cara membalas gadis itu karena sepertinya ia menikmati segalanya. Lev ikut merebahkan diri di samping gadis itu dan menatap langit. Langsung bertanya-tanya bagaimana gadis itu bisa memandang ke atas tanpa melindungi matanya. Lev mengangkat tangan ke depan wajah, berusaha mencari bayangan, lalu ia melihat yang mereka tatap itu matahari pukul sebelas. Pemuda itu mendengus pada dirinya sendiri. Star bergeser lebih mendekat kepadanya.
“Hoi, Lev, kau lihat awan itu? Mereka lucu sekali, seperti sekawan lumba-lumba,” tangan gadis itu terangkat untuk menunjuk, lalu ia juga mengangkat kakinya yang digantungi gelang lumba-lumba. Gadis itu lalu tertawa saat Lev menepuk pahanya, tapi sesungguhnya, Lev tak melihat awan yang dimaksud Star. Star menunjuk lagi dan kali ini bilang awan lain mirip gajah yang main bola sirkus. Walaupun bagaimana garis luar gajah yang bermain bola sirkus bisa terbaca oleh imajinasi luar biasa Star masih menjadi misteri bagi Lev. Ia mulai merasa berada dalam cerita Little Prince ketika sang pilot kecil berimajinasi tentang gajah yang berada dalam perut ular. Kau bisa melihatnya seperti topi seperti orang-orang lainnya, atau melihat hal luar biasa yang coba digambarkan si pilot kecil. Hanya masalah persepsi. Lev tertawa saja walaupun yang ia tertawakan berbeda dengan yang dimaksud Star.
Awan-awan bergerak di atas mereka dan Star terus menunjukkan bentuk yang tak terbaca oleh imajinasi dangkal Lev. Ia memutuskan menyebutkan imajinasinya dangkal setelah sadar Star punya banyak bentuk di kepalanya. Walaupun itu bukan berarti ia bodoh, karena—hei—indeks prestasi Lev tak pernah merosot di bawah 3,8.
Star akhirnya lelah menunjuk-nunjuk lalu sibuk menikmati belaian angin di wajahnya. Ia menutup mata, membaui aroma rerumputan hijau yang sangat dekat di samping telinganya. Lev menoleh. Ia memerhatikan Star yang tiba-tiba terlihat—walaupun Lev tak ingin mengakuinya—manis. Ujung rambut kebiruannya terbang-terbang ke wajahnya yang kemerahan setelah tertawa. Ada potongan-potongan rumput nakal di seluruh tubuhnya tapi sepertinya gadis itu tak mengindahkannya. Lalu gadis itu tiba-tiba membuka mata. Lev buru-buru membuang muka, tapi ia tak perlu khawatir karena Star hanya tertarik pada langit di atas mereka lagi.
“Suatu ketika,” ia memulai tanpa menoleh pada Lev, hanya fokus pada awan yang bergerak di atas mereka. “Ada seorang gadis yang selalu bersedih tapi tak pernah menangis. Ia selalu menatap langit, merasa lebih kecil dari yang selama ini dikiranya karena langit begitu luas dan dunia tak melihat dirinya.”
Gadis itu mengambil jeda untuk memikirkan kelanjutan kisah yang berputar di benaknya. Lev menatapnya lagi. Berpikir bahwa kisah ini bukan miliknya, jadi, mungkinkah—Star? Lalu gadis itu melanjutkan lagi.
“Selama hidupnya, ia merasa banyak hal terjadi, tapi berakhir tak bisa mengingat apa yang sebenarnya membuatnya sedih. Ia sudah terlalu lama menahan airmatanya, jadi sepertinya air mata itu sudah mengeras, kalau bukan menguap dari tubuhnya. Lalu seseorang datang padanya. Pemuda dengan rambut berkibar saat diterbangkan angin, dan memperkenalkan sisi dunia yang lain padanya. Dunia yang penuh kehangatan dan gadis itu jatuh cinta padanya.” Lev sudah siap berbalik karena tahu cerita itu bergenre roman, tapi lalu mendengar sesuatu yang mengusiknya. “Tapi pemuda itu tak bisa menerima cintanya karena ia bukan berasal dari dunia itu. Ia seorang penggembala awan. Dan ia harus kembali ke tempatnya. Dia bilang hanya datang karena gadis itu terus menatap awan-awannya dengan tatapan yang sendu, tapi dia harus pergi. Dia sudah terlalu lama meninggalkan awan-awannya.”
Tiba-tiba Lev heran ia jadi penasaran dengan cerita aneh itu. “Lalu bagaimana akhirnya?”
Star tiba-tiba bangkit dan mengibaskan rumput di tubuhnya, sementara Lev yang masih tiduran di sampingnya sibuk menepis jatuhannya. “Aku tak tahu, aku belum memutuskannya.”
Lev berjengit. Ia menulis cerita itu sendiri? Setelah melihat awan-awan itu? Gadis itu pasti penuh dengan imajinasi di dalam dirinya. Lev menegakkan diri dan menyibakkan potongan rumput dari rambutnya. Ia melihat Star berlari ke hamparan bunga di depan mereka dan berjongkok di antaranya. Lev bangun untuk menyusul.
“Memangnya kau anak kecil, serius mau buat itu?”
Ada banyak anak kecil di sekitar mereka, sedang bermain bunga seperti yang dilakukan Star, jadi Star langsung melotot mendengar Lev berkata begitu. Khawatir anak-anak itu merasa kegiatan mereka diremehkan oleh orang dewasa membosankan yang tak tahu cara menikmati kebaikan alam seperti Lev. Hanya karena merasa itu hal yang kekanakan. Star menatapnya dengan pandangan menusuk.
“Kenapa? Kau sudah terlalu tua untuk melakukannya? Atau karena tak pernah mendapat satu?”
Star memandangnya penuh olok dan Lev terbatuk.
“Anak laki-laki tak main yang seperti itu, tahu. Kami juga tak mau pakai, untuk apa? Dan asal kau tahu saja, aku pernah dapat tahu.”