Starlight

Dawn Solace
Chapter #17

Pizza Tengah Malam

SUASANA hati Star buruk sepanjang hari itu. Dia punya dua shift kerja sambilan hari itu, tapi pikirannya tak bisa fokus. Otaknya terus mereka ulang kejadian di meja makan tadi pagi. Seharusnya Ben mencari waktu lain untuk bikin gara-gara dengannya. Bukannya pagi hari saat hari baru saja dimulai. Seharusnya juga ia tidak bertindak kekanakan dan membiarkan saja pemuda itu alih-alih memancing keributan. Star mengacak-acak rambutnya setiap mengingat kejadian itu. Frustasi sekaligus malu pada dirinya sendiri. Star bahkan tak mampir ke tempat Lev di sela-sela jam kerjanya saking dirinya tak bisa berpikir jernih. Ia hanya duduk di taman bermain selama dua jam penuh sambil memandangi kakinya padahal hari itu cukup panas. Udaranya membuat gerah. Sebelum memutuskan pergi ke minimarket untuk bengong sendiri selama jam kerjanya.

Malamnya, penyesalan Star sudah sepenuhnya tergerus oleh kekesalan. Ia marah karena Ben memandang Lev dengan cara yang buruk padahal ia sudah ditolong. Lev bahkan mau mengobati luka-lukanya kalau Star tak menariknya, jadi sudah seharusnya Ben berterimakasih atas itu. Kekesalannya menjelma menjadi pikiran buruk dan saat jam kerja paruh waktunya selesai malam itu, Star tak berniat pulang. Ia pergi berjalan-jalan tak tentu arah, tapi akhirnya kakinya membawanya ke kontainer Lev juga.

Saat itu sudah pukul sepuluh. Lev terkejut melihat Star muncul di depan kontainernya alih-alih pulang ke rumahnya sendiri. Rumah Star jauh dari sana, ia mengingatkan Star, walaupun seberapa jauh itu Lev tak tahu karena Star tak pernah memberitahunya.

“Yo!”

“Bukan, ‘yo’. Kenapa kau datang malam sekali?” tanya Lev walaupun ia membiarkan gadis itu masuk juga. Star langsung melepas sepatu dan tas, lalu minta dibuatkan susu hangat. Bukan coklat seperti biasa, tapi susu hangat. Lev mengingatkan dirinya sendiri bahwa Star belum pernah meminta itu sebelumnya. Meski begitu ia tetap pergi ke dapur dan menghangatkan susu di microwave. “Kau baru pulang?”

“Yups,” sahut gadis itu singkat. Lalu nama tempat kerjanya disebutkan dan Lev tak bertanya lagi.

Star mendapatkan susu hangatnya dan sementara menunggu sampai lidahnya bisa menerima suhunya—gadis itu tak tahan makanan panas, tapi sering minta yang macam-macam—ia berkata agar Lev mencari permainan yang dia mahiri. Lev tak menyangka gadis itu masih ingin bermain selarut ini, tapi Star sudah mengalihkan ke pertanyaan berikutnya.

“Kenapa kau tak punya video game? Semua anak lelaki punya satu.” Bahkan kakaknya, ia menambahkan dalam hati.

Lev mengedikkan bahu. “Tak seru kalau main sendiri.”

“Kalau begitu beli satu dan aku akan main denganmu.”

Kalimat itu begitu enteng, Lev sampai hampir tersedak mendengarnya. Gadis itu tak berniat membuatnya jatuh miskin tiba-tiba dengan meminta barang-barang aneh, kan?

“Kau pasti punya dendam padaku. Kenapa tiba-tiba minta video game?”

Pertanyaan ini juga tak mendapat tanggapan dari Star. Gadis itu sudah pergi ke rak di samping window seat, ia sibuk memilih permainan. “Lalu apa sebaiknya kita main Jenga saja? Kartu? Monopoli? Kau punya monopoli?”

“Kau tak berniat pulang?” tanya Lev melihat bagaimana susahnya gadis itu mencari permainan padahal seharusnya ia bersiap-siap menuju rumahnya karena jarum jam terus berdetik.

Star diam sebentar, lalu memutuskan untuk mengambil Jenga saja lalu kembali ke meja di tengah ruangan bersama Lev. Pemuda itu terus menatapnya tapi Star pura-pura tak peduli. “Ayo main. Yang kalah harus mengabulkan satu permainan.”

Lev setengah mendengus. Ia akan mengikuti permainan gadis itu kalau itu maunya. Ia menyingsingkan lengan panjang kaosnya dengan bertekad. “Aku akan segera mengirimmu ke pulang.”

Tapi itu tak terjadi. Permainan mereka berlangsung lama, karena tak disangka, keduanya sangat berhati-hati menarik balok-balok kayu itu dan menumpuknya menjadi menara tinggi bolong-bolong. Sama-sama berkonsentrasi sambil memikirkan apa yang harus mereka curi dari satu sama lain malam ini. Saat akhirnya Star menang, gadis itu meminta kontainer dan Lev mencibir mendengarnya.

“Mana mungkin kuberikan. Kau pasti bercanda.”

Tapi Star tak tertawa seperti Lev. Gadis itu terus menunduk dan sepertinya serius dengan kata-katanya. “Kalau begitu pinjamkan aku untuk semalam.”

Bahkan tanpa melihat wajahnya, Lev tahu ada yang tidak beres. Ia bergeser mendekat dan meminta gadis itu untuk memandangnya. “Apa sesuatu terjadi?”

Ia melihat gadis itu menggigit bibir bawahnya. Tapi walaupun Lev berusaha mengunci pandangan mereka, Star tampak gelisah.

“Kau ingin membicarakannya?”

Gadis itu tak menjawab. Tapi dengan melihat tatapannya saat membuang muka, Lev bisa mengerti bahwa gadis itu ingin menghindari topik itu. Mungkin Star hanya belum bisa memberitahunya. Lev mengelus rambut gadis itu, kali ini benar-benar membelainya karena biasanya pemuda itu melakukannya dengan kasar. Ia lalu bangkit menuju meja bar.

Lihat selengkapnya