Musim panas masih akan berakhir beberapa bulan lagi. Matahari bersinar cerah. Cahayanya membawa kehangatan, memberikan harapan baru. Sebagian orang mulai melakukan aktivitasnya dengan riang. Tapi tidak dengan gadis itu. Gadis yang baru memasuki usia delapan belas tahun itu tengah meringkuk di sudut kamar. Pipinya basah oleh air mata. Hatinya tengah ditutupi awan kelabu. Ponsel yang ia letakkan di atas meja kembali berdering. Gadis itu menutup telinganya rapat-rapat, meredam suara berisik itu.
Ia tengah merutuki kegagalannya. Pagi tadi, gadis itu baru saja melihat pengumuman SBMPTN. Ia sudah berharap besar, namun nyatanya ia harus menelan pil pahit. Ia gagal. Gagal diterima di salah satu Universitas terkenal di Malang, kota yang ditinggalinya saat ini.
Gadis itu jarang sekali gagal. Dan entah apa yang tengah direncanakan semesta. Ia justru tersandung kegagalan pada hal besar yang sudah di impikannya. Gadis itu kecewa, kecewa pada dirinya sendiri. Ia merasa bodoh. Tak ada keberanian untuk menghadapi Ayahnya. Pria paruh baya itu pasti marah besar. Bagaimana tidak? Ayahnya menyarankan untuk mendaftar di salah satu Universitas di Jakarta, jurusan Manajemen, tempat Kakaknya berkuliah. Namun gadis itu menentangnya. Ia mempunyai pilihan sendiri.
Bukan tanpa alasan sang Ayah menyuruh gadis itu untuk mendaftar di jurusan Manajemen. Ayahnya ingin ia bisa meneruskan usaha kue milik Bundanya yang sudah memiliki dua cabang.
Jika gagal seperti ini, entah apa yang akan dikatakannya pada sang Ayah. Semua terasa menyakitkan, memalukan, serta mengecewakan. Gadis itu putus asa. Terjebak dalam lubang yang gelap, tak tahu lagi jalan keluar.
"Kejora, boleh aku masuk?" Ujar seseorang seraya mengetuk pintu.
Gadis yang dipanggil Kejora itu menoleh kearah pintu. Itu suara Sasa, sahabat dekatnya.
Kejora dengan cepat menghapus air matanya. Ia merangkak ke arah cermin, memandang pantulan dirinya. Ia tersenyum miris. Gadis dalam cermin terlihat begitu menyedihkan. Matanya terlihat sangat sembab. Bagimana tidak? Ia sudah menangis hampir dua jam. Menangisi kegagalannya. Ah, sudahlah.
Pintu kamar kembali di ketuk. Kejora menghela nafas panjang. Ia lalu berderap membuka pintu. Benar. Sasa berdiri di depan pintu dengan wajah khawatir.
Ia lalu mempersilahkan Sasa memasuki kamarnya. Setelah itu, Kejora kembali menutup pintu. Ia mengangkat wajahnya, tubuhnya hampir saja limbung ketika Sasa merengkuhnya dalam pelukan. Sasa seperti ikut merasakan luka yang ditanggung Kejora. Ia bisa menebak apa yang terjadi pada gadis itu.
"Menangislah jika ingin menangis. Aku disini, Jora."
Saat itu, tangis Kejora kembali pecah. Ia meremas kaos yang dikenakan Sasa. Menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam hati. Berusaha meredakan sesak yang mengkungkung dadanya. Membiarkan Sasa mengetahui kejatuhannya. Hatinya sakit sekali. Masih tak bisa menerima kegagalan itu.
Sasa juga ikut menangis. Bukan menangisi kegagalan gadis itu, melainkan menangisi keadaan sahabatnya yang terlihat kacau. Kejora yang sekarang sama sekali tidak dikenalnya. Kejora yang biasanya riang, selalu ceria, kini terlihat sangat putus asa. Awan mendung menggelayut di wajah manisnya.
"Aku gagal, Sa. Aku gagal." lirih Kejora di sela-sela tangisnya.
"Kegagalan bukan akhir dari segalanya, Jora. Tuhan punya rencana lain, yang pasti lebih baik dari rencanamu. Jadiin kegagalan ini sebagai pelajaran, pelajaran mendewasakan diri. Bangkit lagi Jora, kejar apa yang ingin kamu gapai, tinggalin apa yang ngehalangi jalanmu."
Sasa melepas pelukannya saat ponsel di saku celananya bergetar. Ia menghapus air mata Kejora dengan ibu jari. Tersenyum, menyemangati sahabatnya yang sedang terpuruk. Menemani Kejora yang sedang dirundung kesedihan. Ia mengajak Kejora untuk duduk di pinggir tempat tidur. Setelahnya, Sasa merogoh saku celana, mengambil ponselnya yang masih terus bergetar. Layar ponselnya menampilkan nama Raka sebagai penelpon.
Sebelum mengangkatnya, Sasa menoleh ke arah Kejora. Tangis gadis itu sudah berhenti. Ia kembali mengulas senyum. Meremas pelan punggung tangan Kejora, mengatakan semua akan baik-baik saja.
"Sekarang kamu ngomong ya sama orangtua mu? Dari tadi Mas Raka nelponin aku terus."
Kejora terdiam sebentar, lalu mengangguk. Percuma ia terus menghindar, nyatanya gadis itu akan tetap menghadapi keluarganya. Mau seberapa jauhpun ia berlari dari kenyataan, ia tak akan pernah benar-benar bisa lepas. Kejora harus bisa menghadapi resiko dari keputusan yang diambilnya.
Gadis itu menghela nafas panjang. Menerima uluran ponsel dari Sasa. Dengan ragu, Kejora mengangkat panggilan itu dan mendekatkan ponsel milik Sasa ke depan telinganya. Suara bass Kakaknya mulai masuk ke indera pendengarannya.