StarLight 03 – Penyesalan
Manusia itu bisa memalsukan senyuman diwajahnya, tapi tidak dengan perasaan dihatinya.
- Viana Agatha -
STARLIGHT
Cewek berambut terurai panjang hingga ke bahu itu baru saja memasuki pekarangan sekolahnya, sejumput rambutnya ia selipkan kebelakang telinga. Ketika cewek berseragam sekolah berbalut cardigan oranye melewati pos satpam, ia berhenti.
Menoleh pada pak satpamnya, dan tersenyum merekah. Seperti biasa, “Pagi pak Dito!!”
“Pagi non Sanon.”
Alis Shanon saling bertaut. “Nama saya Shanon, pak.”
“Iya, Sanon.”
Shanon sontak menggeleng. “Shanon, bukan Sanon.”
“S-syaenun...”
“Shei,” kata Shanon memperagakan gerak bibirnya.
“Sy... Shei,”
Senyum Shanon melebar. “Nen,”
“nwen... Nen,”
“Shanon,”
“Sanon.”
“Tulisannya emang S-h-a-n-o-n, tapi bacanya 'Sheinen'.”
“Ainun? Sainun? Saynen?”
“Sheinen.” Shanon sampai harus monyong-monyong, dengan tangan yang ikut bergerak.
“Sanon.”
Shanon menepuk dahinya kemudian menghela nafas malas. Tersenyum pada pak Dito. “Iya bener, SANON.”
“Iya, neng Sanon.”
Shanon menggeleng-geleng heran. Sesusah itukah menyebut namanya dengan benar?
****
Shanon berjoget ria mengikuti musik. Tak peduli apa kata orang, jika dirinya senang, dia tetap akan melakukan hal itu. Bahkan Viana terheran, apakah senyum diwajahnya tak akan pernah luntur?
"Ih, si abang gemez deh!" Shanon berjingkrak-jingkrak pecicilan saat melihat dimana idola kesukaannya muncul.
"Bahasa lo She, ya allah." Rachel menoyor kepala Shanon. "Makin gede makin alay!"
"Sayur pare, sayur tomat." Jawab Shanon.
"Cakep!"
"I don't care, bodo amat!"
"Hiya hiya hiya." Setelah itu, Shanon dan Fifi bertos ria bak orang yang habis memenangi undian berhadiah besar.
"Pantun gue tuh! Main nyolong aja lo cem kucing." Cibir Viana.
"Aku kan emang kucing, kaka. Imyut gitchu!"
Viana bangkit dari duduk nya, bersiap mengejar Shanon. "Jijik sumpah bahasa lo, She. Bisa jadi gila gue lama-lama."
Shanon tertawa, "Ulu-ulu, pasien RSJ ya by?"
"Anjir,"
Fifi tertawa keras. Sekarang Shanon dan Viana yang sedang kejar-kejaran menjadi sorotan murid-murid dikelas. Memang benar rumor yang beredar disekolah, jika tak ada Thunder CS, maka sekolah bakal sepi layaknya kuburan.
Serasa ada yang kurang-kurang aja gitu, kan mereka yang suka ribut disekolah. Dalam artian candaan, bukan ribut berantem. Menjadi penambah mood, dan pencair suasana.
Rachel tersenyum, setidaknya sekarang merupakan hari tanpa adanya perseteruan antara Shanon dan Fifi. Teman-teman nya tak perlu tau apa yang sedang ia alami. Cukup dirinya dan tuhan yang tahu bagaimana perasaannya. Ia sungguh tak ingin, situasi seperti sekarang akan hancur karena nya.
Selesai kejar-kejaran, Viana duduk dikursi nya. Ia mengatur deru nafas nya yang tersengal-sengal dan menoleh kesamping. Melihat Rachel yang sedang duduk manis.
"Hei, cerita sama gue." Tiba-tiba Viana berujar.
Rachel mendongak, "cerita apaan?"
"I know how your feels now, lo gak bisa boong sama gue." Viana memasukan handphone nya kedalam saku.
"Maksud lo apa sih?"
"Perlu gue jelasin lo kenapa?" Viana menaikan sebelah alis nya tanda menantang.
"Gue gak kenapa-napa, Vi." Rachel tersenyum simpul, "Suer." Jarinya membentuk huruf V.
"Sekali lagi gue tanya, lo kenapa?"
"Gue gak papa." Rachel lagi-lagi tersenyum, "Nih, emang muka gue kek orang depresi apa?" Ia tertawa kecil.
"Manusia itu bisa memalsukan senyuman diwajahnya, tapi tidak dengan perasaan dihati nya."
Rachel menghembuskan nafas gusar, "Susah ya, nipu orang yang pekaan kayak lo. Coba aja lo cowok, udah gue gebet kali."
"Jadi?"