Jauh dari angan-angannya, Arlina tak menyangka ucapan yang keluar dari mulutnya akan membawa kesialan pada dirinya sendiri.
"Om kirim aku ke tempat rehabilitas mana pun aku tetap akan pergi."
Pada jam lima pagi, Arlina terduduk lemas dikursi penumpang sebelah pamannya–Dave, yang pokus mengemudikan mobilnya. Mulut Dave tak berhenti bicara mengenai Arlina, sedangkan gadis usia 17 tahun itu hanya memutar bola matanya malas mendengar celotehan pamannya.
"Om... please yaa jangan peternakan kuda, yang ada aku makin stres bukannya sembuh ommm!!!" Arlina memohon yang kesekian kalinya sejak mereka berdua duduk di atas mobil yang mereka tumpangi.
Dave hanya melirik sekilas Arlina dan menghela napas panjang.
"Mati aja ga takut, masa sama kuda takut. Liat aja nanti kamu pasti suka tempatnya." Cibiran Dave membuat Arlina makin mengerucutkan bibirnya.
Ucapan Dave memang benar adanya, kematian bukan hal ia takuti sejak lama. Anak nakal seperti dirinya sudah berkali-kali masuk rumah sakit akibat berkelahi, kecanduan alkohol dan sudah pernah dinyatakan meninggal akibat kecelakaan dari balap liarnya. Namun ajaibnya tuhan masih tak merelakan Arlina menghilang dari permukaan bumi.
Delapan jam perjalanan akhirnya mobil milik Dave sudah terparkir rapi di lahan yang cukup luas. Arlina merasakan seluruh badannya remuk akibat perjalanannya kurang menyenangkan. Akses jalan yang ia tempuh terbilang tidak cukup layak untuk dilintasi kendaraan, bebatuan besar membuat mobil yang dikendarai mereka terguncang cukup hebat.
Beruntungnya Arlina tidak mabuk begitu kakinya menginjak tanah. Ia meregangkan otot tubuhnya begitu keluar dari mobil.
"Huaaaaa.... sakit banget badan gueee..."
Setelah udara segar masuk lewat lubang hidungnya tubuhnya dan pikiran lebih tenang sekarang.
Dilihatnya sebuah gereja yang cukup unik tepat didepan mobil Dave terparkir. Arlina menoleh ke belakang, hanya ada pepohonan yang bersusun rapi yang terlihat olehnya. Angin di sini cukup kuat, hingga rambutnya yang tergerai ikut melayang-layang ke udara menutupi wajahnya.
Dave memanggil Arlina yang masih mematung di tempat. "Arlina ayo sini!!" Dave berteriak yang sejak tadi berdiri di ambang pintu gereja bersama seorang wanita dewasa.
"Ar ini suster megan, dia yang akan rawat dan bimbing kamu selama di sini." Ucap Dave sembari mengkode Arlina untuk menyapa suster megan.
"Hallo Arlina, saya megan penanggung jawab sekaligus yang bimbing kamu dan murid lain di gereja."
Arlina masih sedikit kebingungan, di mana peternakan kudanya? Dia tak melihat ada tanda-tanda kuda sedikitpun. Lalu murid?
"Kuda?" Ucap Arlina kikuk.
Dave menoleh, "Kuda? Peternakan maksudnya?" Ucap Dave membenarkan.
Arlina mengangguk dengan ekspresi polosnya. Suster Megan yang melihatnya sedikit tekekeh dibuat gadis itu.
"Peternakan kudanya ada di timur hutan Arlina, besok hari pertama kamu beraktivitas di sini, sekarang kamu pasti lelah karna perjalanan panjang bukan?" Jelas suster Megan.
Arlina tak mau menanyakan banyak hal pada suster Megan, karna benar sekarang ini dirinya sudah sangat lelah. Paman Dave menangis sejadi-jadinya saat berpamitan dengan Arlina, meskipun berat rasanya Dave melepaskan keponakan satu-satunya itu, tetapi demi kebaikan Arlina dia tetap harus merelakannya.
Arlina menelusuri lorong bangunan tua ini menuju kamarnya bersama suster Megan.