Pagi ini Arlina terbangun di jam empat pagi untuk mengikuti misa rutin mingguan. Pintu kamarnya terpaksa dibobol oleh Hanin dan suster Megan karna ia tak kunjung bangun juga. Padahal semua orang di luar pondok sudah besrsiap untuk pergi ke bukit di belakang gereja.
Gigi Arlina bergemelatuk merasakan dinginnya udara pagi ini. Tumbuhnya kedinginan karna pakaian putih yang ia kenakan cukup tipis dan semua orang dilarang mengenakan pakaian tambahan.
Bersama 26 orang lainnya, Arlina berjalan hati-hati di tengah hutan yang sunyi, hanya menggunakan lentera untuk penerangan agar sampai di kapel. Bahkan Arlina sesekali tersanjung kecil dan tentu saja mulutnya tak berhenti menggerutu.
"Arlina? Dingin ya?" Di tengah perjalanan Hanin membuka suaranya.
Arlina menoleh meskipun ia tak jelas melihat wajah gadis itu, "I–iya nihh," Ucapnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.
"Setiap pagi emang sedingin ini ar, nanti juga kamu terbiasa kok." Hanin cukup ramah sejak pertemuan pertama mereka kemarin sore. Ia juga membantu Arlina mempersiapkan diri karna ia satu-satunya yang terlambat bangun. Hanin dua tahun lebih tua dari Arlina dan sudah tinggal di gereja ini lebih dari tiga tahun.
"Emangnya misa harus sepagi buta ini ya kak? Kenapa ga di gereja aja sih???" Kali ini Arlina cukup penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan sekarang ini.
"Hmmm iya ar di sini misa kalau ga pagi pagi ya malem hari, kebetulan minggu ini jadwal misa nya pagi ar,"
"Terus kenapa ga digereja? Buat misa sendiri kita punya kapel terpisah ar, tempatnya ga jauh kok bentar lagi juga sampai." Lanjut Hanin.
Akhirnya mereka semua sudah sampai di kapel, Romo Yohanes dan beberapa suster lainnya sudah sampai lebih dahulu. Arlina mengikuti semua rangkaian misa sampai matahari mulai naik. Begitu misa selesai semua orang kembali ke gereja untuk sarapan pagi, sedangkan Arlina masih di kapel bersama Suster Megan.
Suster Megan memperkenalkannya kepada Romo dan disambut hangat olehnya. Arlina cukup merasa nyaman di lingkungan ini meskipun ia belum mengenal banyak orang. Setidaknya.
"Kalo begitu ayo Arlina kita kembali ke pondok," Ajak Suster Megan.
"Suster... aku mau berkeliling sebentar di sini, apa boleh?" Minta Arlina. Sesungguhnya ia mencari alasan supaya tidak ikut sarapan bersama murid yang lain.
"Baiklahh, jangan terlalu jauh ya ar segera kembali ke pondok untuk sarapan sebelum sesi bersama dokter Ghina dimulai."
Begitu Suster Megan dan Romo Yohanes pergi meninggalkan Kapel, Arlina memandang kembali ke sekeliling kapel. Kali ini suhu disekitar masih belum menghangat meskipun matahari semakin terlihat jelas, Arlina berjalan menjauh dari kapel dan mengikuti jalan setapak di sana berlawanan dari arah gereja.
Arlina membawa kakinya menjauh dari kapel hingga akhirnya ia melihat sebuah kandang kuda tampak dikejauhan. Ia mendekat memeriksa apakah ada banyak kuda di sana.
Dengan langkah pelan Arlina mencoba masuk ke dalam istal dengan hati-hati. Sesungguhnya ia takut dengan kuda, ralat–Arlina belum pernah menunggangi kuda bahkan menyentuhnya. Tapi ia cukup yakin bahwa ia tak menyukai kuda.
Hanya terdapat enam ekor kuda di dalam istal. Arlina benar-benar ditipu pamannya mengatakan ada puluhan ekor tapi nyatanya hanya terhitung jari.
Arlina cukup takut mendekati diri ke kuda-kuda yang sedang tertidur, ia melangkahkan kaki keluar istal dan memutar melihat bagian belakang istal.
Suasana pagi di sini begitu segar, aroma pohon pinus terhisap kuat oleh penciumannya. Suara burung bercicit terdengar begitu jelas ditelingnya, ia menyukai ketenangan seperti ini.
"Siapa lo?"