Manusia selamanya terbatas. Jangan berkeras ingin bebas.
Hidup selalu terikat pada serangkaian aturan dan tuntutan yang tidak bisa dilepas.
“Pak, Intensitas kan, majalah sekolah, bukan gosip, kenapa profil Kejora perlu masuk edisi bulan depan?” Jemari tangan Rigel saling mengait. Garis wajah tirus cowok itu makin tegas ketika gerahamnya mengatup. Geram bukan main mendengar ide Pak Nurdin, pembina majalah sekolah, yang meminta Intensitas mewawancarai Kejora.
Keberadaan Kejora sebagai artis berkarier cemerlang jelas jadi kebanggaan SMA Wasesa. Namun, apa faedahnya memasukkan profil dia ke majalah sekolah? Apa tidak cukup koran, tabloid, media daring, beserta puluhan program infotainment TV menayangkan berita tentang dirinya? Atau, diam-diam Pak Nurdin adalah fan garis keras sinetron ratusan episode yang dibintangi Kejora?
“Justru itulah tantangannya.” Pak Nurdin mencondongkan badannya ke arah Rigel. Tangannya tertangkup di atas meja. “Selama ini, artis identik dengan gosip. Tugas kamu menyingkirkan stigma lapuk ini dan menemukan sisi lain Kejora yang bisa menginspirasi,” jelas Pak Nurdin tenang.
“Inspirasi apa yang bisa didapatkan dari artis sering bolos, tukang telat, hobi tidur di kelas, tidak pernah ikut ekskul—”
“Nah, itu dia,” Pak Nurdin memotong. “Dia tidak ikut ekskul teater, tapi bisa akting dengan baik. Itu kan, kelebihan, Rigel.”
Duh, sindiran jadi pujian. Jadi guru nggak peka. Zaman pacaran dulu gimana, Pak?
Senyum puas di bibir Pak Nurdin membuat Rigel mendengkus. Rigel melanjutkan daftar dosa Kejora.
“Tidak mengerjakan PR, jarang ikut ulangan, nggak bikin tugas, tapi selalu naik kelas. ‘Kejora: Sumbang Dana Pembangunan Sekolah agar Naik Kelas’, apa saya perlu membuat headline semacam itu?”
“Sebentar, apa kamu punya bukti? Kalau tidak, kamu tidak berbeda dari wartawan gosip. Coba singkirkan semua pikiran negatif itu dan temukan sesuatu yang menginspirasi.”
“Saya pikir,” sahut Rigel serius. Mata elangnya menyipit. “Satu-satunya inspirasi yang bisa diperoleh dari Kejora adalah bagaimana memilih make-up agar seorang remaja tampil mirip tante-tante.”
***
KEJORA memainkan ujung rok seragamnya. Ponsel sudah jadi benda membosankan saat ini. Sorot matanya bolak-balik menoleh ke jam dinding. Di sekolah, para siswa sedang menghabiskan jam istirahat pertama dan Kejora masih terjebak di kantor production house yang menaungi sinetronnya.
Tadi pagi, sewaktu akan berangkat sekolah, produsernya tiba- tiba menelepon. Kejora diminta datang ke kantor secepatnya. Sopirnya ngebut dan Kejora sudah duduk menunggu selama dua jam, tapi pria itu belum muncul. Cewek itu menggigiti bibir bagian dalam, menahan kesal. Mamanya entah ke mana. Mungkin menyapa produser dan sutradara lain supaya Kejora mendapatkan project baru.
Pintu mendadak terbuka. Kejora mendongak penuh harap. Ternyata Lean, lawan mainnya di sinetron, bukan produser mereka.
“Udah dari tadi?” tanya Lean santai. Dia langsung duduk di seberang Kejora, menyandarkan punggung sementara sepatunya menukik di atas meja. Lengan kemejanya digulung sebatas siku dan jemarinya saling mengait.