Tidak perlu berisik. Aku bisa mendengarmu bahkan ketika berbisik. Keraskan saja usahamu agar aku terusik.
Sudah tiga jam Rigel menunggu di lokasi syuting. Dia sudah menghubungi Mirna, manajer Kejora, via telepon, dan mereka janji bertemu di Studio Persari. Menempati beberapa hektare lahan, Studio Persari memiliki berbagai macam bangunan untuk lokasi syuting.
Tanpa petunjuk Caleya, kakaknya yang juga wartawan, Rigel dijamin kebingungan. Tempat syuting Kejora terletak di setting perkampungan penuh dengan dinding-dinding berplester retak, lantai berubin hitam kuno yang berdebu, juga jalanan kampung yang rusak. Lengkap dengan ayam berkeliaran ke sana kemari. Sempurna.
Dengan wajah melankolis dan mata bersorot sendu, Kejora sering memperoleh peran gadis miskin yang teraniaya. Star’s Fate salah satunya. Kejora berperan sebagai gadis miskin lugu yang bekerja sebagai make-up artist dan dicintai aktor terkenal yang diperankan Lean. Kejora lalu di-bully habis-habisan dan selalu ketiban sial. Itu hasil riset yang didapat Rigel. Menonton satu episode saja sudah membuatnya hafal kapan Kejora akan menangis dan kapan dia akan ketiban kesialan lain.
Pantat Rigel yang duduk di sofa lusuh di teras sebuah rumah mulai terasa panas. Dia menegakkan badan sambil menengok ke samping rumah yang tadi dijadikan setting salah satu scene. Tidak ada Kejora di sana. Hanya para kru yang tengah menyiapkan setting scene berikutnya.
Mirna bilang akan menghubungi kalau syuting sedang break. Dengan tidak sabar, Rigel merogoh kantong celana, mencari ponsel.
Pemuda itu berdecak kesal melihat ponselnya mati kehabisan baterai. Padahal, ponsel juga berguna untuk merekam pembicaraan saat wawancara sebelum ditranskrip. Dia harus mencari stopkontak. Dia mengetuk pintu, meminta izin masuk. Tidak ada jawaban, tetapi sayup-sayup terdengar suara orang di dalam rumah.
“Mbak Mirna, gue bisa menghafal dialog itu di luar kepala dengan sekali baca!” Suara serak itu terdengar menggeram menahan kesal. “Tapi, yang ini ....”
Sekarang Rigel tahu siapa pemilik suara serak itu. Kejora duduk di kursi lipat, membelakanginya. Seorang wanita, yang diduga Rigel sebagai Mirna, duduk di sebelahnya. Dia tampak memegang gulungan skenario, membujuk Kejora untuk membaca, tapi ditolak.
“Gue sudah hafal semuanya, Mbak!” desah Kejora putus asa. “Gue biasa disodorin skenario baru, setiap hari, selama hampir 350 episode. Saking terbiasanya, gue bisa nebak dialog tanpa susah-susah baca. Tapi, kalau soal ....” Kejora kembali menggeram sambil mengacak-acak rambutnya. “Gue butuh konsentrasi, please,” rengeknya memohon.
Wow, sombongnya selangit! Rigel berdecak sebal. Dia memang satu sekolah dengan Kejora, tapi mereka tidak pernah berinteraksi langsung.
“Apa kubilang, Jora. Kamu itu mendingan ikut home—” Kata- kata Mirna terpotong karena Rigel menyela tidak sabar.
“Jadi, selama berjam-jam, gue cuma nungguin artis sok sibuk? Yang syutingnya nggak kelar-kelar, gara-gara nggak mau baca skenario?” Rigel bersilang dada menahan murka di depan Kejora. Sejak awal seharusnya dia memang tidak perlu meliput profil artis tidak berfaedah macam ini. Buang-buang waktu dan bikin jengkel.
Kejora yang terkejut langsung balik badan. Bibirnya terkatup melihat cowok asing yang mendekat dengan tampak galak. Mirna mendongak, sama kaget dan bingungnya. Dia juga tidak menyadari ada orang asing masuk ke ruangan.
“Atau, karena gue cuma reporter majalah sekolah? Intensitas memang bukan majalah nasional yang bisa dongkrak popularitas lo. Tapi, kami profesional. Nggak kayak lo!” Rigel menatap Kejora tajam. Dia sama sekali tidak menyadari betapa mengerikan sorot matanya saat marah. Ditariknya skenario dari tangan Mirna, lalu disodorkan paksa kepada Kejora.
Kejora tersihir. Patuh begitu saja menerima skenario dari Rigel. Lupa bahwa dia sedang menggenggam sebuah buku juga. Buku itu terlepas dari pangkuan Kejora, lalu terjun bebas ke lantai. Suara berdebum membuat Kejora tersadar. Buru-buru dia memungutnya, tapi Rigel telanjur melihat.
Dalam sekejap, mata Rigel yang tadinya galak berubah kaget. Matanya mengerjap sekali lagi untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Kejora memungut buku Fisika yang jatuh. Di lokasi syuting, dalam situasi hectic, Kejora menyempatkan diri belajar Fisika.
“Maaf. Gue nggak tahu ada yang nunggu.”
Suara serak Kejora membangunkan Rigel dari keterpanaan. Buku Fisika itu diletakkan di meja depan Kejora. Tepat di sebelah laptop yang layarnya menampilkan sederet tugas Fisika.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja Rigel disergap rasa bersalah. Suasana berubah kaku. Sama-sama tidak tahu apa yang harus dikatakan.