Jam dinding di ruang tengah berdentang pelan-tiga kali. Tapi bukan pukul 03.00 pagi. Itu pukul 10.30 pagi. Sinar matahari menerobos tirai yang setengah tertutup, menyentuh ubin dingin dan menyebar seperti cahaya di udara yang berdebu. Di kamar paling depan rumah Jay itu, aroma tubuh remaja yang belum mandi, bau sisa asap rokok, bekas makanan cepat saji, dan semerbak parfum maskulin murah yang tercampur menjadi satu. Sepi. Hanya suara kipas angin tua yang berderit dan dengkuran pelan beberapa remaja laki-laki yang masih tenggelam dalam mimpinya masing-masing.
Jay terbaring di sisi kasur paling pojok. Kaosnya terangkat sedikit, menampakan pinggang yang kurus. Di sebelahnya ada Deri, yang memeluk bantal seperti memeluk pacar khyalannya. Lantai dipenuhi oleh botol minuman soda yang kosong, bekas bungkus keripik, dan headset yang entah milik siapa. Di dekat pintu, Dani dan Rohman tidur dengan kaki bersilang, seolah kamar itu bukan rumah Jay, melainkan markas kecil mereka dari dunia luar yang tak ramah.
Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa di balik pintu. Pintu kamar Jay terbuka dengan kasar.
"Hey... Udah jam berapa ini?" Suara ibu Jay menggema seperti sirene.
Empat tubuh di dalam kamar itu bergerak lamban, seperti baru disadarkan dari hipnotis panjang. Jay membuka satu matanya, lalu buru-buru menarik selimut. Deri mengucek matanya, Dani hanya menggeliat, dan Rohman entah bagaimana masih sempat balik badan dan melanjutkan tidurnya.
Ibu Jay berdiri di ambang pintu. Wajahnya merah. Rambutnya terikat asal, dan handuk coklat menempel dipundaknya. Di tangannya ada sapu lidi yang sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai senjata, tapi pagi itu tampak sebagai alat interogasi.
"Ayo... Ayo bangun. Ini rumah orang. Bukan hotel bintang lima." Bentaknya.
Deri terduduk. "Maaf.... Mak."
"Maaf apanya. Udah hampir satu bulan kalian gini terus. Malam bergadang. Pagi tidur seharian kaya batu. Sekolah kalian gimana, hah?"
Jay berusaha bangkit, namun kepalanya pening. "Iya, Mak. Nanti juga sekolah."