Stasiun Baru

Topan We
Chapter #4

Gadis Anggun Itu Bernama Hana

Pagi itu masih diselimuti kabut tipis ketika Hana melangkah keluar dari rumah bergaya depok milik orangtuanya. Suara ayam jantan bersahutan di belakang rumah. Udara segar membelai wajahnya yang bersih dan bercahaya. Ia mengenakan seragam SMP-nya yang sudah disetrika rapi, rambutnya dikuncir satu, rapi dan sederhana, namun tetap menampakan pesonanya yang alami. Hana memang gadis desa biasa. Meski lahir dan besar di kampung kecil yang mayoritas warganya adalah petani sawah dan karet, parasnya bisa membuat orang berpikir da menebak ia berasal dari kota. Kulitnya putih bersih, wajahnya teduh dan tenang, dengan mata bening yang menyiratkan keingintahuan yang besar tentang dunia di luar desanya.

Di depan rumah, sebuah motor matic berwarna hitam sudah menunggunya. Motor itu adalah pemberian bapaknya, pak Hotib, seorang pengusaha karet yang kini cukup dikenal di kampung mereka. Tak banyak bahkan sangat terhitung ada anak perempuan di desanya yang membawa motor sendiri ke sekolah, apalagi masih SMP. Tapi Hana bukan sembarang anak.

"Bapak, Hana berangkat dulu ya," ucapnya sambil memakai helm.

Pak Hotib muncul dari balik pintu dengan wajah serius. "Hati-hati di jalan. Kalau hujan tunggu reda dulu, jangan maksa jalan."

"Iya, Pak." Jawab Hana sambil menyalakan motor.

Ibu dan adiknya, Aang, melambai di depan rumah. Pemandangan ini sudah jadi rutinitas setiap pagi. Tapi setiap hari pula, harapan yang tumbuh dari hati pak Hotib : bahwa Hana akan menjadi gadis pertama di kampung itu yang mampu mengubah nasib keluarga, atau bahkan mungkin nasib kampung mereka.

Cuaca pagi itu sangat cerah. Dan perjalanan terasa begitu ringan. Sepanjang jalan, anak-anak lain ada yang melambai padanya. Sebagian menatap penuh kekaguman, sebagian lagi iri dalam diam.

"Si Hana itu cantik ya," bisik seorang teman perempuan saat Hana menuju gerbang sekolah.

"Iya. Dia baik kok. Orangnya royal, enggak sombong," sahut satu teman lainnya.

Hana memang seorang yang mudah bergaul. Meski berbeda secara ekonomi dan penampilan, ia tak pernah merasa lebih baik dari siapapun. Ia sering membantu teman-temannya, baik secara tenaga maupun materi. Bahkan ia sering memberi uang jajan kepada anak-anak yatim dan yang kurang mampu.

Di sekolah, Hana selalu jadi siswi yang menonjol. Bukan hanya karena kecantikannya, tapi juga karena keaktifannya. Ia selalu duduk di bangku depan, mendengarkan guru dengan sungguh-sungguh, mencatat dengan rapi, dan aktif bertanya jika belum ada yang ia mengerti.

Cita-citanya cukup tinggi, bagi kalangan anak-anak di kampungnya: ia ingin menjadi bidan atau bahkan seorang dokter. Cita-cita yang bagi sebagian teman-temannya di kampung dianggap mustahil, karena terhalang biaya.

Lihat selengkapnya