Jay akhirnya lulus dari SMP, meskipun nyaris tak pernah menginjakkan kaki di sekolah pada semester terakhirnya. Sejak jauh sebelum kelulusan, ia sudah memutuskan untuk berhenti belajar. Dunia pendidikan bukan tempatnya, begitu pikir Jay. Ia lebih senang berada di jalanan, merasakan angin, debu, dan suara mesin daripada duduk diam di bangku sekolah, mendengarkan guru yang tak pernah benar-benar mengerti isi kepalanya.
Kedua orang tuanya sudah kehabisan kata-kata. Nasehat, marah, bahkan doa—semuanya terasa tak mempan untuk membelokkan arah Jay. Mereka akhirnya menyerah, membiarkan anak laki-laki mereka berjalan di jalannya sendiri. Hanya ibunya yang masih bertahan. Ia tak pernah berhenti menasehati Jay, bahkan ketika Jay hanya membalasnya dengan anggukan malas atau diam seribu kata.
Jay memilih bekerja, meskipun ia tahu usianya masih jauh dari kata pantas. Ia hanya lulusan SMP, tanpa keterampilan, tanpa ijazah yang bisa dibanggakan. Tapi ada satu hal yang ia genggam erat: harga diri. Sejak keluar sekolah, Jay bersumpah tak akan lagi meminta uang kepada ayah dan ibunya.