Stasiun Baru

Topan We
Chapter #6

Gadis Tercantik Sepanjang Masa

Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Jay kembali pada rutinitasnya—bangun pagi, lalu bergegas ke bengkel milik mas Boim, samping rumahnya tempat truk tronton dirawat. Jay memang bukan kenek tetap, tapi sejak tiga bulan terakhir, ia sudah dianggap bagian dari tim. Gajinya tidak besar, tapi cukup untuk sekadar membeli makan siang, rokok, dan sesekali membelikan ibunya beras ketika stok di rumah menipis.

Tapi sejak pagi itu, sejak ia melihat gadis berseragam SMP yang melintas tenang di pinggir jalan, pikirannya mulai bercabang. Ada sesuatu yang mengusik. Seperti ada lagu lama yang terus diputar di kepalanya, tapi ia tidak tahu judulnya.

Hari itu, seminggu setelah pertemuan pertama, Jay kembali ke bengkel lebih awal. Ia ingin merapikan truk yang akan digunakan sore nanti untuk kiriman pasir ke sebuah perusahaan. Sembari menyeka kaca depan truk dengan lap basah, Jay diam-diam mencuri pandang ke ujung jalan.

Dan di sanalah gadis itu lagi. Rambutnya masih digerai sama, dan kali ini ia mengenakan kaus kaki putih tinggi dengan sepatu hitam mengilap. Hana bersama sepeda motornya melintas dengan irama yang hampir bisa Jay hafal, walau baru kedua kali melintas dihadapannya. Bukan karena ia memperhatikan terlalu detail, tapi karena sejak hari pertama, Jay tidak bisa melupakan cara gadis itu membawa motor. Ada semacam kesederhanaan dalam tiap geraknya yang membuat Jay ingin tahu lebih banyak.

Jay terdiam. Lap di tangannya menggantung. Ia merasa dadanya seperti dihimpit perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ketika gadis itu hampir melewati tikungan menuju jalan utama, Jay seperti digerakkan oleh sesuatu yang lebih kuat dari akalnya. Ia meletakkan lap, membuka jok motor bapaknya, dan mengambil kunci.

Ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Hanya saja, kakinya melangkah sendiri ke motor. Tangannya menghidupkan mesin. Dan dalam hitungan detik, ia membuntuti gadis itu dari belakang.

Perjalanan pagi itu bukan hal yang rumit. Gadis itu berjalan melewati hutan tipis, dipinggiran nya tempat orang-orang Baduy berjualan Durian dan buah lainnya. Melewati makam keramat, dan akhirnya tiba di sebuah sekolah negeri yang tak jauh dari Pasar Minggu. Jay menjaga jarak, tak ingin terlihat mencolok. Ia tahu, membuntuti seseorang tanpa izin adalah tindakan bodoh—tapi baginya, ini bukan sekadar mengikuti. Ini semacam upaya untuk memastikan bahwa yang ia lihat bukan mimpi, bahwa gadis itu benar-benar nyata, bukan hasil dari pikirannya yang sering kali kelewat liar.

Ketika gadis itu mulai mendekati gerbang sekolah, Jay memarkir motornya di seberang jalan. Ia berdiri di bawah pohon jambu, memperhatikan dari jauh.

Gadis itu berhenti sejenak di depan gerbang. Ia tampak membuka tasnya, mungkin mencari sesuatu. Lalu, ia menoleh ke belakang. Dan mata mereka bertemu. Jay sedikit panik. Tapi ia tidak buru-buru memalingkan pandangan. Justru, untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Senyum yang kecil, canggung, tapi jujur. Gadis itu tampak tertegun sesaat, lalu menunduk dan segera masuk ke halaman sekolah.

Lihat selengkapnya