Hari itu, Jay bangun lebih awal dari biasanya. Biasanya, kalau tidak sedang ada jadwal narik, ia akan tidur sampai matahari benar-benar menyengat ubun-ubunnya. Tapi kali ini berbeda. Dari kemarin malam, Jay sudah menyusun rencana matang-matang. Ia tidak akan bekerja hari ini. Tidak akan mengantar pasir ke beberapa proyek. Hari ini, Jay akan pergi ke Tangerang untuk menonton konser Burgerkill bersama ketiga sahabatnya: Rohman, Deri, dan Dani
Mereka sudah membicarakan rencana ini sejak sebulan lalu. Tiket konser metal yang digelar komunitas musik lokal di Tangerang bukan barang mahal, tapi tetap saja biaya perjalanan dan makan perlu diperhitungkan. Jay, yang beberapa minggu terakhir berhasil menyisihkan sebagian uang nariknya, sebenarnya berniat menggunakan uang itu untuk membeli HP BB bekas. Ia ingin bisa terus chatting dengan Hana tanpa harus pinjam BB Ewok lagi. Tapi godaan menonton Burgerkill terlalu kuat. Terlalu menggoda untuk dilewatkan.
Yang tidak diketahui oleh Rohman, Deri, dan Dani adalah: Jay kini punya cukup uang untuk membeli BB. Tapi ia sengaja tidak mengatakan apa-apa. Bukan karena ia pelit, tapi karena ia merasa, kalau uang itu disebut-sebut, maka rencana mereka akan berubah. Bisa jadi uangnya diminta buat ongkos, atau malah mereka memutuskan naik angkutan umum. Padahal, bagian seru dari perjalanan ke konser bukan cuma di panggungnya—tapi juga di perjalanannya.
"Bawa rokok teu?" tanya Dani saat mereka sudah berkumpul di ujung jalan Simpang tiga, tempat biasa mereka mencari tumpangan mobil.
"Bawa setengah bungkus. Sisanya buat di jalan nanti," jawab Jay sambil menyelipkan sebungkus rokok murahan ke saku celananya.
Mereka semua mengenakan kaos yang sama: Baduy Rock'n'Roll. Komunitas ini mereka bentuk dua tahun lalu, berawal dari kumpulan pecinta musik cadas di beberapa desa sekitar. Logo komunitas itu terinspirasi dari motif tenun Baduy, dipadukan dengan tengkorak dan gitar listrik. Tidak semua anggota komunitas ikut ke konser hari itu. Hanya mereka berempat yang nekat menumpang mobil bak terbuka.
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, sebuah mobil pick-up pengangkut sayur melintas. Deri melambaikan tangan.
"Tangerang, Bang? Numpang, Bang."
Sopir yang sedang mengunyah sesuatu tersenyum kecil dan mengangguk. Tanpa banyak bicara, mereka langsung naik ke bak belakang, duduk di antara keranjang kosong dan tali tambang.
Perjalanan ke Tangerang tidak terlalu mulus. Jalan berlubang, angin debu, dan matahari siang yang menyengat membuat mereka kepanasan. Tapi itu semua tidak masalah. Yang penting, mereka menuju ke tempat yang tepat: musik, kebebasan, dan semangat muda.
Sesampainya di Tangerang, sore mulai turun. Mereka segera berjalan menuju lokasi konser yang sudah ramai. Beberapa panitia tampak sibuk mengatur kabel, mengecek sound system, dan memasang banner besar bertuliskan: "Metal United Fest!"