Stasiun Baru

Topan We
Chapter #10

Janjian

Suara anak-anak SMP yang baru keluar dari kelas berbaur dengan deru motor para orang tua yang menjemput. Di depan gerbang sekolah, suasana riuh seperti pasar kecil: pedagang cilok memanggil pelanggan, abang es tong-tong memukul loncengnya, dan segerombolan siswa berlari-lari mengejar angin pulang.

Hana keluar hampir paling akhir dari kelasnya. Ia berdiri agak lama di depan loker kayu kecil tempat ia menyimpan buku, pura-pura sibuk merapikan binder dan mengikat rambut. Sebenarnya ia sedang menunggu detik-detik yang sejak pagi membuat jantungnya berdebar, Jay.

Semalam, anak lelaki itu kembali mengabari dirinya lewat SMS dengan gaya bicara yang sederhana tapi entah kenapa membuat Hana tak bisa tidur cepat. Jay bukan tipe lelaki manis yang penuh gombal, bukan pula lelaki lembut yang bicara serba hati-hati. Tapi dari semua yang Hana tahu tentangnya sejauh ini, Jay adalah seseorang yang terasa jujur dan tulus.

Dan malam tadi, Jay mengirimkan pesan:

“Besok pulang sekolah jangan langsung balik ya, aku mau ketemu.”

Hana sempat menatap layar ponselnya agak lama sebelum membalas.

“Emang mau ketemu di mana?”

“Di depan SMP, sekolah mu aja. Jam pulang sekolah. Aku mau ngajak kamu makan.”

Hana menelan ludah, tapi ia mengetik:

“Ya udah.”

Itu jawaban yang terdengar santai. Padahal di dadanya, ada badai kecil yang berputar-putar.

Karena itu pula, hari ini ia berbohong pada orang tuanya. Ketika ibunya menanyakan kepada sahabatnya, sebelah rumah Hana, ia tidak langsung pulang, Hana berpesan bahwa ia ada tugas kelompok di rumah Sinta dan mungkin pulang agak sore. Ibunya mengiyakan tanpa curiga apa pun.

Bohong. Dan entah kenapa bohong itu justru menimbulkan sensasi yang asing, deg-degan, tapi juga membuatnya merasa… hidup.

Begitu keluar dari gerbang sekolah, Hana melihat Jay berdiri di bawah pohon angsana dekat parkiran motor. Ia mengenakan kaos hitam yang agak pudar dan celana jeans biru yang sudah bolong sedikit di lutut. Tangan kanannya memegang kunci motor sementara tangan kirinya memegang rokok yang tidak ia nyalakan.

Jay biasanya tampak seperti lelaki tangguh, keras, dan cuek. Tapi hari itu, ia tampak… gugup. Ia mondar-mandir kecil, memainkan kunci motor, dan kadang menggaruk belakang kepala padahal tidak gatal.

Saat melihat Hana, Jay langsung merapikan postur berdirinya. Rokok di tangannya ia masukkan ke saku celana, seolah tiba-tiba teringat bahwa ia sedang menunggu seorang gadis baik-baik.

“Eh… Kamu,” sapa Jay, suaranya sedikit serak.

Hana, yang sudah menyiapkan senyum kecil sejak belokan koridor, hanya mengangguk pelan. “Kamu udah nunggu lama?”

“Gak kok. Baru.”

Padahal sudah hampir tiga puluh menit ia berdiri di situ.

Sejenak, keduanya sama-sama diam. Suasana canggung itu seperti kabut yang menutup jarak mereka. Jay lalu mengusap hidungnya dan berkata, “Yuk, kita makan dulu. Aku tau tempat bakso yang enak, enggak jauh dari sini.”

Hana mengangguk, masih malu-malu, tapi matanya tak bisa menutupi rasa penasarannya.

Motor Jay melaju pelan melewati jalanan kampung yang sepi. Hana duduk di belakangnya, kedua tangannya memegang sisi jok motor, tidak berani memegang pinggang Jay meski beberapa kali hampir kehilangan keseimbangan. Sebenarnya Jay ingin meminta Hana memegang pinggangnya, tapi ia takut dianggap agresif.

Lihat selengkapnya