Akhir pekan selalu datang dengan perasaan yang berbeda bagi Jay. Hari Sabtu bukan sekadar hari libur atau hari tanpa seragam sekolah, karena Jay memang sudah lama tak mengenal seragam, melainkan hari ketika ia bisa sedikit bernapas dari kerasnya pekerjaan, dari bau solar, oli, dan debu jalanan. Tapi Sabtu kali ini terasa jauh berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya sejak pagi.
Sejak beberapa hari terakhir, Jay merasa pendekatannya kepada Hana sudah cukup jauh. Mereka semakin sering bertukar SMS, saling menanyakan kabar, saling menunggu balasan. Hana tak lagi kaku seperti awal-awal. Ia mulai berani bercanda, mulai membalas dengan emotikon sederhana, dan sesekali mengeluh capek sekolah. Hal-hal kecil yang bagi Jay terasa besar.
Namun justru karena itu, Jay merasa tak bisa terus menggantungkan keadaan. Ia bukan tipe lelaki yang nyaman berada di wilayah abu-abu. Ia sadar betul siapa dirinya, lulusan SMP yang bekerja serabutan, bertato, hidupnya jauh dari kata mapan. Tapi justru karena itulah ia tak mau mempermainkan perasaan siapa pun.
Baginya, diterima atau ditolak bukan soal harga diri. Yang terpenting adalah kejujuran.
Malam ini gue harus bilang, batin Jay sejak Jumat malam.
Malam sebelumnya, Jay mengirim SMS pada Hana.
Jay : "Besok aku mau ketemu kamu penting!"
Hana : "Penting kaya gimana?"
Jay : "Nanti aja aku bilangnya di sekolah kamu, ya."
Hana : "Oh. Ya udah."
Jay membaca balasan itu berulang kali. Tidak ada tanda penolakan, tapi juga belum ada jawaban yang menenangkan. Semalaman ia tidur gelisah, terbangun beberapa kali, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang belum tentu terjadi.
Sabtu siang, Jay baru saja pulang bekerja. Kaosnya basah oleh keringat, tangannya masih berbau sabun steam dan minyak mesin. Ia mandi cepat, mengganti pakaian dengan kaos hitam bersih dan celana jeans yang sedikit lebih rapi dari biasanya. Ia bercermin sebentar, memandang tato di dadanya, lalu menghela napas.
Apa gue pantas buat dia?
Pertanyaan itu tak dijawab. Jay mengambil kunci motor dan keluar rumah.
Motor bebek tua milik bapaknya itu melaju menuju sekolah Hana. Jam sudah menunjukkan lewat pukul dua siang. Area sekolah terlihat mulai sepi. Hanya ada beberapa siswa yang masih berkeliaran, mungkin mengikuti kegiatan ekstrakurikuler atau sekadar nongkrong.
Jay memarkir motornya di depan pagar sekolah. Di sisi kanan, kantin kecil berdiri dengan bangku-bangku kayu panjang. Beberapa pedagang masih bertahan, menjajakan minuman dingin dan gorengan yang sudah peot.
Hana datang beberapa menit kemudian. Ia mengenakan seragam olahraga, kaos putih dengan garis biru dan celana training panjang. Kerudungnya dilepas. Rambutnya diikat satu, wajahnya tampak segar meski sedikit lelah.
"Kamu nunggu lama?" tanya Hana.