Stasiun Baru

Topan We
Chapter #16

Fase Baru

Pagi itu rumah Hana lebih sibuk dari biasanya. Dua koper besar tergeletak di ruang tamu, satu tas punggung bersandar di dinding, dan sebuah kardus berisi buku-buku baru dan ATK diletakkan rapi di dekat pintu. Ibu Hana mondar-mandir sejak subuh, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Sesekali ia memanggil Hana hanya untuk memastikan hal-hal sepele, kaus kaki, alat mandi, sampai barang-barang makeup yang diselipkan ke dalam tas.

Hana duduk di ujung sofa, memandangi ruang tamu rumahnya dengan perasaan campur aduk. Senang, gugup, dan sedikit takut. Hari ini ia resmi akan tinggal di kota, ngekos dekat SMA negeri tempat ia diterima. Jarak rumah ke sekolah barunya hampir satu jam perjalanan. Bapak dan ibunya sepakat: Hana harus tinggal di kost agar bisa fokus belajar, tidak kelelahan di jalan, dan lebih mandiri.

Pak Hotib keluar dari kamar dengan kemeja rapi dan celana bahan. Wajahnya serius seperti biasa, tapi ada sorot bangga yang tak bisa disembunyikan. Anak perempuannya kini sudah masuk SMA negeri favorit di kota, sebuah langkah besar, bukan hanya untuk Hana, tapi juga untuk nama keluarga mereka.

“Jangan lupa, jaga diri baik-baik,” kata Pak Hotib sambil membantu mengangkat koper ke mobil pick up. “Di kota itu macam-macam orang. Bapak nggak selalu bisa ada buat ngawasin kamu.”

Hana mengangguk. “Iya, Pak.”

Ibunya menimpali dengan suara lebih lembut, “Kalau ada apa-apa, langsung telepon. Jangan dipendem sendiri.”

Perjalanan ke kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Hana duduk di bangku depan, memandangi jalan yang makin lama makin ramai. Warung-warung kecil berganti dengan deretan ruko, sawah berubah jadi bangunan, dan suara alam digantikan klakson kendaraan. Dalam hatinya, ia tahu, hidupnya sedang benar-benar berpindah ke fase baru.

Kost yang akan ditempatinya berada di gang kecil tak jauh dari sekolah. Bangunannya sederhana, dua lantai, dengan pagar besi yang selalu terkunci. Di halaman depan ada jemuran pakaian dan beberapa pot bunga yang tampak dirawat seadanya. Ibu kost menyambut mereka dengan ramah, menjelaskan peraturan singkat: jam malam, tamu dilarang masuk kamar, dan kewajiban menjaga kebersihan.

Hana mengangguk patuh, meski pikirannya melayang ke satu nama: Jay.

Saat koper terakhir dibawa masuk ke kamar, Pak Hotib berdiri di ambang pintu. Ia memandangi kamar sempit itu, satu ranjang, meja belajar kecil, lemari besi, dan jendela yang menghadap ke gang.

“Belajar yang rajin,” katanya pelan. “Bapak sama ibu enggak mau kamu salah jalan.”

“Iya, Pak,” jawab Hana. Kali ini suaranya sedikit bergetar.

Tak lama kemudian, mobil pick up itu pergi, meninggalkan Hana berdiri sendirian di depan kost. Ia menarik napas panjang. Sunyi mendadak terasa asing.

Lihat selengkapnya