Stasiun yang Harus Kau Kunjungi Sebelum Mati

Fitra Firdaus Aden
Chapter #1

Kereta Api Abadi

Kondektur kereta mengayunkan tangan kirinya, menunjuk petugas PPKA[1] yang mengangkat eblek[2] hijau di belakang sana. Sesaat kemudian, sang kondektur berwajah kucing belang--iya, dia benar-benar berwajah kucing dengan badan manusia-- membunyikan suling mulutnya panjang-panjang. Suling mulut yang menandakan keberangkatan, sekaligus perpisahan. Suling mulut yang akan mengantarkan Rumi ini menjemput adikku yang baru saja berpulang.

Aku menyampaikan ini dalam keadaan sesadar-sadarnya. Keadaan paling sadar sejak adikku meninggal 3 hari lalu karena kecelakaan di palang pintu kereta api JPL 303. Aku tidak sedang berhalusinasi atau sedang apa. Malam ini, beberapa jam usai tahlil 3 hari di rumah kami selesai, kudatangi Tuan Fumikiri yang sudah menunggu di tiang listrik ujung kampungku, seberang jalan raya. Kukatakan kepadanya tentang apa yang harus kukatakan kepadanya.

Lalu, Tuan Fumikiri yang kepalanya berbentuk palang pintu kereta api itu mulai bicara.

“Fuihihihi, Anda masih bisa menyelamatkannya, Tuan Mim! Fuihihihi, percayalah, urusan yang seperti ini, saya adalah ahlinya. Adik Anda baru diberangkatkan ke Stasiun Terakhir malam ini. Selama dia belum keluar dari stasiun terakhir, Anda bisa mengajaknya pulang. Fuihihihi. Ibu Anda akan kembali bahagia, istri Anda tidak bermuram durja, dan Anda akhirnya tertawa. Fuihihihi, itu yang Anda mau, bukan? Fuihihihi!”

Di depan matanya yang berupa lampu merah berkedap-kedip itu, aku mengangguk saja.

“Fuihihihi, tapi tentu saja Tuan Mim, selalu ada imbalannya.”

 

Aku menemukan Tuan Fumikiri dari buku corat-coret adikku. Makhluk ini yang paling sering digambar olehnya pada bulan-bulan terakhir jelang ia meninggal. Makhluk ini pula yang menemuiku pada malam pertama usai adikku berpulang. Melalui mimpi. Iya, melalui mimpi yang ketika kucubit pipi, sakitnya terasa bagai nyata.

“Saya tahu Anda ini makhluk seperti apa. Saya hanya bisa sepakat-sepakat saja.”

“Fuihihihi, Tuan Mim, saya ini makhluk yang hidup oleh kenangan. Kenangan bahagia, kenangan penuh tawa, kenangan berbasah air mata, juga kenangan yang cuma perih saja.”

Aku diam. Diam adalah cara terbaik untuk menggali informasi dari orang yang banyak bicara. Lama-lama, dia akan membual. Lama-lama, dia akan mencerocos apa saja. Lama-lama, dia bakal mengeluarkan semua kartunya, termasuk yang paling rahasia.

“Fuihihihi, Tuan Mim! Saya bukan manusia seperti kawan dan musuh Anda. Jangan membuat saya gelisah. Anda tidak bisa menekan saya dengan cara sebegini rupa.” Makhluk ini menggertak, tetap dengan kikikan khasnya.

“Apakah mengikuti jalan Anda berarti akan masuk neraka?”

Tuan Fumikiri tersenyum. Senyum mengerikan yang pernah kulihat dari salah satu bos penerbit buku tempatku bekerja dahulu. Senyum tanda puas berhasil memerangkap seseorang dalam genggamannya erat-erat tanpa ada celah untuk keluar. Bukan masalah. Bukan Tuan Fumikiri yang memerangkapku. Tapi, diriku yang menjebakkan diri untuk diperangkap olehnya.

“Fuihihihi, Anda memang bukan orang biasa.”

“Neraka pun akan saya lewati untuk mendapatkan dia.”

“Fuihihihi, negosiasi ini lebih lancar daripada biasanya. Senang bertemu dengan Anda.”

Tuan Fumikiri memasukkan tangan ke dalam saku jasnya. Sulit membayangkan makhluk berkepala palang pintu kereta api, punya tubuh seperti manusia. Lebih sulit lagi membayangkan bahwa makhluk seperti itu, mengenakan setelan jas rapi biru tua, dipadu celana kain dengan warna serupa, dan sepatu pantofel hitam dan mengilap.

“Fuihihi, baiklah, Tuan Mim. Ini tiket yang Anda tunggu. Tiket Kereta Api Abadi,” Tuan Fumikiri mengulurkan tangannya, menunjukkan tiket edmonson berwarna merah muda. “Kereta yang mengantar adik Anda, akan berangkat setengah jam lagi dari Stasiun Terwelu. Begitu sampai di Stasiun Terakhir, tepuk bahunya. Saat dia berbalik, saat itulah Anda bisa membawanya pulang ke rumah Anda.”

 

“Di balik sesuatu yang terlihat mudah, pasti ada kesulitan-kesulitan yang disembunyikan.”

Aku menatapnya tajam. Tuan Fumikiri tersenyum lagi, lalu tertawa terkikik-kikik, terbahak-bahak sepuasnya. “Fuihihihi, Anda ini memang cerdas sekali, Tuan Mim! Saya tidak boleh berkata banyak-banyak. Anda harus mengalaminya sendiri. Pesan saya cuma satu, waspadalah pada musuh besar saya: Miriam Gagak yang sakti mandraguna. Fuihihihi, ini akan menjadi pertarungan ke-99 antara saya dan dia. Fuihihihi, saya sudah tidak sabar untuk menikmatinya! Akan ada banyak darah dan air mata!”

Aku menelan ludah. Miriam Gagak yang tiada bandingannya. Apakah diri ini takut? Apakah jerih?! Jika pun ada perasaan itu, aku tak mau merasakan apa-apa. Kupilih memandang lampu di atas sana yang semakin oranye saja. Aku tak hendak bertanya bagaimana hasil 98 pertarungan sebelumnya antara Tuan Fumikiri melawan Miriam Gagak. Apakah seimbang? Apakah menang telak? Ataukah kalah hingga dibantai berkali-kali? Apa peduliku?! Saat ini, dengan tiket edmonson yang sudah di genggaman tangan, aku hanya bisa menerima hasil berupa kemenangan. Jadi, semua hal yang akan membuatku ragu, harus diabaikan, harus dimusnahkan. Bahkan meski peluangku untuk membawa pulang Sufi hanya 0,001 persen saja.

---o0O0o—

Lihat selengkapnya