Stasiun yang Harus Kau Kunjungi Sebelum Mati

Fitra Firdaus Aden
Chapter #2

Bertanya kepada Tuhan

“Mas, Sufi kecelakaan, Mas! Tolong ke sini secepatnya, Mas! Aku sama Mamah ada di Rumah Sakit Lemahbang!”

Telepon Fana yang melubangi hatiku itu benar-benar terjadi di siang bolong. Aku baru duduk barang 15 menit di kantor, belum juga membuka laptop atau apa. Belum juga mengaduk teh dandang rasa vanila seperti biasa. Masih mengobrol santai dengan editorku, sama sekali belum membahas naskah barang selembar saja.

Belum juga Fana menutup teleponnya, sebuah rasa perih seperti bekas tercubit, tiba-tiba menyeruak. Ia lantas menyebar, memenuhi seisi dada. Perih ini bukan perih biasa. Aku mengenalinya. Perih yang sama persis dengan perih waktu ayah berpulang 13 tahun lalu. Sesuatu yang buruk tengah terjadi. Sesuatu yang menyakitkan bakal menimpaku!

 

Baru dua jam lalu aku melepas kepergian Sufi ke kantornya. Baru dua jam lalu, dia melambaikan tangan kepadaku dan Mamah dari jok motor ojek online yang ditumpanginya. Tidak ada firasat buruk, tidak ada keanehan apa-apa.

Sejak pekan lalu, suhu tubuhnya meninggi, di atas suhu orang rata-rata. Jika malam tiba, dia menarik selimut, menggigil kedinginan, dan kadang mengigau. Aku dan Mamah menduga dia kelelahan. Tapi, dia selalu mengelak ketika ditanya soal keadaan fisiknya. Wajahnya santai-santai saja. Tidak ada pula gejala seperti batuk atau flu.

Pagi ini, suhu tubuhnya semakin tinggi. Karena itulah, mamah memintanya untuk tetap tinggal, working from home barang sehari. Tapi, dia malah menggeleng. Dengan mata beningnya yang basah berkata, “Aku memang harus pergi. Nggak mungkin tetap di rumah ini. Tenanglah, semua akan baik-baik saja.”

 

Aku tak ingat lagi siapa yang menutup telepon, apakah Fana atau diri ini. Buru-buru kupamit kepada editor, memacu motor yang sudah tidak bisa diajak mengebut lagi. Kulewati lampu-lampu bangjo hanya mengandalkan insting, seakan semuanya menyala hijau dan mempersilakanku berlalu pergi.

Saat melewati jalanan yang bersebelahan dengan rel kereta tempat kami menghabiskan masa remaja, diri ini membatin, “Kamu minta aku tenang? Apanya yang tenang?! Apanya yang baik-baik saja, Sufi?!”

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba terdengar suara lembut di telinga. “Mas, aku pergi dulu. Terima kasih buat Mbak Fana. Jaga Mamah, ya. Jangan memaksakan diri.”

Suara Sufi! Itu suara Sufi!

Aku buru-buru menepi, menghentikan motor di jalur pejalan kaki. Telinga kiriku berdenging keras sekali. Tepat saat itu, KRL Jogja-Solo yang belum pernah kami tumpangi, melintas dengan kecepatan tinggi.

Sejak kami mendewasa, Sufi memang enggan memanggilku dengan sapaan ‘Mas’. Dia lebih suka menyebut ‘kamu’. Tapi, yang tadi benar-benar suara Sufi. Aku yakin itu. Aku tidak mungkin salah dengar! Dia berpamitan denganku?! Dia ingin pergi?! Pergi secepat ini?!

Bibirku mulai bergetar memikirkan kemungkinan terburuk. Tangan kiriku mulai gemetar memegangi stang motor. Tangan kananku memutar kunci motor ke posisi on, tapi tak kunjung bisa. Aku panik, keringat mengucur deras. Pikiranku mulai acak, dan semua kenangan tentang Sufi menghambur tak terbendung lagi.

 

“Aku tidak akan menikah,” katanya suatu malam sambil tersenyum. “Aku ingin pergi jauh dalam waktu dekat. Ke tempat-tempat yang belum kuketahui. Andai aku berkata seperti itu kepada Mamah, menurutmu apakah aku akan dimaafkan?”

Aku menoleh ke arahnya, mengulang slogan andalan kami saat masih kuliah, “Hiduplah sebebas mungkin bro. Terbang setinggi mungkin. Kita ini jiwa-jiwa yang merdeka.”

Dia cuma tertawa.

 

Begitu tiba di ruang ICU Rumah Sakit Lemahbang, kulihat ibu yang menangis di depan jenazah adikku; memanggil-manggil nama Sufi sembari mengusap-usap dadanya. Fana, yang sesenggukan, mengusap matanya berkali-kali, menoleh ke arahku. Begitu mendapati suaminya, ia menghambur, memelukku erat-erat. Air matanya pecah. Ia tersedu. Ia cengkeram bahuku hingga kukunya menggores kulitku. “Sufi, Mas. Sufi sudah pergi …”

Aku ingin menangis. Aku ingin menangis seperti lumrahnya seorang kakak kehilangan adik. Aku ingin menangis seperti yang dilakukan tetanggaku ketika orang terdekat mereka berpulang. Tapi, tak bisa. Tak ada air mata yang mengalir. Tiada.

Aku tak bisa menangis bukan karena aku laki-laki. Aku tak bisa menangis karena ibuku dan Fana sudah menumpahkan air mata. Harus ada orang yang bisa tenang dalam kekacauan ini. Harus ada orang yang seperti Sufi. Sialnya, satu-satunya pilihan di antara kami bertiga yang mengelilingi adikku hanyalah aku. Jadilah aku diam. Aku diam sembari meresapi bahwa bisikan lembut di motor tadi memang ucapan perpisahan dari adikku. Aku diam sembari mencoba menyusun kalimat penghiburan untuk ibu dan istriku. Aku diam untuk berbohong bahwa aku baik-baik saja, padahal hatiku hancur berkeping tiada tara.

 

Hiduplah sebebas mungkin …

Tapi, Sufi … kenapa kamu mendahuluiku?!

Kenapa kamu pergi secepat ini?!

Lihat selengkapnya