Steps

Emilia Nur maghfiroh
Chapter #1

Menjanda atau Menerima Godanya

Bojonegoro, Juni 1998

 

Ternyata memang benar, bahwa melupakan seseorang yang pernah hadir dalam hidup, tidak pernah semudah yang dibayangkan. Selalu ada kenangan indah yang memutar tiap hari di benak, hingga memaksa air mata yang tak ingin dikeluarkan, malah keluar sendiri tanpa disuruh. Ya begitulah memang, meskipun sudah cukup lama, tetapi kenangan indah dan perih yang menyertainya akan terus hadir mencipta luka.

“Sudah lima bulan suamimu pergi meninggalkan kamu. Sampai kapan kamu akan tetap seperti ini? Terus terpuruk, hingga tak pernah tahu kapan hendak bangkit. Kasihan anakmu, dia masih sangat membutuhkanmu. ”

Begitulah ucapan Mbok Sri, panggilan yang kerap diberikan Mita untuk ibunya. Perempuan berusia senja itu, khawatir dengan kondisi anak dan cucunya yang begitu memilukan setelah kepergian suami Mita karena kecelakaan setahun yang lalu.

“Ikhlas, ketika ditinggalkan oleh seseorang yang pernah menjadi setengah hati ini, tidak pernah semudah yang dibayangkan, Mbok. Dulu aku berpikir bahwa Mas Ridwan adalah laki-laki sempurna yang dikirim Gusti Allah kepadaku. Aku bahagia sekali, selain sifatnya yang bijaksana, dia juga bisa membimbingku benar-benar kembali ke jalan-Nya.”

Perempuan berkacamata itu kemudian menutup Al Qurannya, setelah tetes air matanya membasahi salah satu ayat yang ada di surah yang dibaca Mita. Ia tak pernah menyangka, bahwa cintanya yang baru berlabuh selama beberapa tahun itu harus kandas karena takdir Allah telah mendahuluinya.

“Begitulah, Nduk. Jika kita terlalu mencintai sesama-Nya dengan luar biasa. Allah telah cemburu kepadamu, hingga Allah harus mengambil suamimu dengan cara seperti itu. Kamu pun juga tidak bisa disalahkan terkait hal ini, karena Allah sudah menentukan hidup hamba-Nya, di Lauhul Mahfudz sana.”

Mbok Sri berkali-kali membesarkan hati Mita, supaya anak perempuannya bisa bangkit setelah kepergian sang suami yang begitu didambakan oleh anaknya itu. Ia tahu, ia begitu merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan oleh orang yang paling dicintai. Namun, bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, yang telah memiliki seorang anak, mau tidak mau juga harus tetap kembali berjuang meski tanpa suaminya.

Menyakitkan memang, tapi bagaimana lagi? Tidak mungkin jika Mita harus berontak kepada Sang Pencipta atas seluruh takdir yang terjadi kepadanya saat ini. Perlahan, Mita mencerna kalimat-kalimat yang diucapkan oleh ibunya yang juga pernah ditinggal oleh suaminya saat Mita masih balita.

Perlahan, Mita mulai kembali bangkit. Menguatkan hatinya demi putera kesayangannya. Dalam duka kehilangannya yang tak akan pernah berujung, ia tetap harus bersyukur, sebab Allah masih memberinya seorang malaikat kecil pelindung, yang harapannya kelak bisa melindungi ibunya yang tinggal sendirian ini.

Pagi-pagi sekali, Mita bersiap untuk bekerja kembali. Memberikan ilmu bagi siswanya, yang selama lima bulan terakhir tak lagi bertemu dengan Mita karena duka yang tak pernah diduga Mita sebelumnya. Perempuan berusia 30 tahun itu memoleskan bedak tipis dan sedikit lipstick hanya untuk menyamarkan perih hatinya yang selama lima bulan terakhir ini begitu menyiksa.

Mita menghirup udara segar saat ia telah melangkahkan kakinya keluar rumah, ia tak pernah menyangka, menghirup udara dengan perasaan yang telah ikhlas memang sesegar ini. Dia percaya, bahwa apa pun yang telah diikhlaskan dalam hatinya, kelak Allah ganti hal itu menjadi lebih baik.

Perempuan berusia 30 tahun itu mengecek jilbabnya sekali lagi, setelah semuanya sudah rapi, barulah ia mengayuhkan sepedanya menuju tempat ia mengajar. Tak sabar rasanya ia bertemu dengan siswa-siswinya yang telah ditinggal selama beberapa bulan terakhir karena kejadian beberapa bulan lalu.

Berat memang memaksakan perasaannya untuk bangkit seperti sekarang ini, tapi bagaimana lagi? Jika nanti Mita tetap seperti ini, berdiam diri di rumah, tentu ia akan semakin teringat dengan kenangan-kenangannya bersama sang suami dan jika ia kembali menangis, tentu akan memperberat langkah Ridwan menuju surga Allah di sana. Jadi, seberat apa pun rasa kehilangan itu, akan tetapa Mita paksakan meski begitu susah untuk dilakukan.

Entah mengapa, sepanjang jalanan menuju tempatnya bekerja, beberapa pasang mata yang menatap Mita saat mengendarai sepeda mininya tampak tak berkedip. Mereka melongo, melihat perempuan itu, tentu hal itu membuat perempuan berkacamata itu risih. Satu yang ada di benaknya, apa yang sebenarnya membuat orang-orang itu melihatnya dengan pandangan yang seperti itu?

Namun, Mita memilih mengabaikan mereka. Lagipula, mungkin karena perubahan berat badan yang semakin kurus karena kepiluan ditinggal sang suami yang kepergiannya tak pernah diduga sebelumnya.

“Assalamualaikum, Bu Mita. Alhamdulillah, sudah bergabung bersama lagi. Jujur, saya rindu sekali sama njenengan bagaimana dengan anak-anak, ya? Pasti mereka jauh lebih rindu dengan wali kelasnya.”

Kedatangan Mita langsung disambut oleh Riana, rekan mengajarnya. Ia yang menggantikan Mita mengajar siswa-siswinya saat cuti beberapa waktu lalu. Riana juga yang selama ini, menjadi tempat terbaik untuk mencurahkan seluruh isi hatinya selama ditinggal sang suami.

“Waalaikumussalam, Ibu. Alhamdulillah, meskipun sebenarnya saya belum bisa ikhlas sampai saat ini. Saya tetap harus bangkit untuk anak saya. Saya tidak boleh terpuruk, karena masa depan anak saya ada di tangan saya.”

Lihat selengkapnya