Steps

Emilia Nur maghfiroh
Chapter #3

Tuduhan Sintya

Hanya kepada Allah tiap hamba-Nya, memohon pertolongan. Meminta diberi petunjuk, apakah yang dilakukan ini sudah tepat atau belum. Pun sama, jawaban yang diberikan oleh ibunya membuat Mita dilema. Hendak melanjutkan proses perkenalannya dengan Tomi atau bahkan digagalkan saja. Sebab, perasaannya ragu luar biasa bahkan sejak keduanya berjumpa dalam kali pertama.

           Akhirnya, dengan keyakinan yang bulat. Perempuan berusia 30 tahun itu menunaikan hajatnya, sholat istiqarah. Meminta petunjuk kepada Allah supaya kelak langkah yang telah diambil olehnya benar-benar tepat dan tidak mengecewakan Mita di kemudian hari. Sejak Mita masih kuliah dulu, ia mulai dikenalkan ibadah-ibadah sunah oleh orang tuanya dan sampai sekarang kebiasaan itu masih terus terbawa. Bahkan, saat ia sudah memiliki anak satu.

           Pukul tiga dini hari, Mita terbangun dari tidurnya. Langkah kakinya berjalan menuju tempat wudhu, perempuan itu menyerahkan takdirnya sepenuhnya kepada Allah. Penulis scenario terbaik untuk seluruh hamba-Nya. Tetesan air mata mulai membasahi sajadah panjang yang menjadi alas sujudnya. Satu per satu doa, mulai ia panjatkan. Mulai dari semoga Allah memberi ampunan pada lelaki terbaik yang kini telah meninggalkan Mita untuk selamanya, memberikan perempuan itu kekuatan sepeninggal sang suami. Hingga terakhir, ia minta diberikan petunjuk, apakah Tomi adalah laki-laki pilihan Allah yang benar-benar baik untuknya atau tidak.

           Ia berharap, Allah mendengarkan doanya, kemudian memberinya pertanda. Entah lewat mimpi atau keyakinan hati. Sebab memang kata-kata yang diucapkan oleh Tomi begitu meyakinkan, hingga Mita sempat mengurungkan niatnya untuk sholat istiqarah. Namun, ia ingat betul se-meyakinkan apa pun seseorang, tentu suatu saat belum tentu, saat menikah nanti sifat Tomi tetap seperti ini, bisa jadi nanti lelaki itu berubah dengan segala keburukan yang Mita khawatirkan. Namun, semoga saja hal buruk itu tidak terjadi.

           Seusai sholat Tahajud, Istiqarah dan sholat Subuh. Perempuan itu bergegas untuk pergi ke sekolah sebab hari ini adalah jadwal piketnya. Jarak yang terbentang cukup jauh antar rumah ke sekolah membuat Mita berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Supaya tidak terlambat ke sekolah.

           Ada untungnya juga, Mita berangkat pagi-pagi seperti sekarang, jalanan yang terbentang seperti miliknya sendiri. Udara yang dihirup saat ia bersepeda pun, masih sangat segar. Belum tercampur dengan polusi-polusi dari bekas kendaraan yang lain. Piket guru, adalah sebuah kegiatan yang telah terjadwal semenjak sekolah didatangi siswa yang selalu berangkat pagi, karena jarak sekolah yang cukup jauh, dan orang tuanya harus berangkat pagi untuk bekerja.

           Tak ada sanak saudara yang bersedia mendampingi siswa itu, hingga akhirnya orang tua siswa itu harus mengantarkan anaknya lebih pagi. Mau tak mau, gurunya pun harus berangkat pagi juga, supaya dapat mengawasi siswa itu di sekolah. Supaya tak ada hal buruk yang menimpa anak itu jika sudah sampai ke sekolah, karena sudah ada beberapa guru yang mengawasi anak muridnya di sekolah.

***

           Hari ini, giliran Mita dan Riana yang menjadi petugas piket. Tugas guru piket ada dua, yaitu membersihkan kantor, juga menyambut kedatangan siswa-siswi di depan gerbang sekolah. Mereka percaya, bahwa kegiatan semacam itu akan membuat anak-anak muridnya akan lebih semangat mencari ilmu.

           “Bu, maaf. Ada titipan dari Mas Tomi.”

Riana memberikan sebuah amplop putih berisi surat yang sudah bisa diketahui, bahwa pengirim surat itu adalah rekan kuliahnya, yang menitip salam untuk Mita. Surat yang dari amplop pembungkusnya saja sudah wangi sekali.

           “Oh, terima kasih ya, Bu.”

Mita menerima amplop tersebut dengan senyum yang mengembang. Ia menghirup aroma yang semerbak dari sepucuk surat warna merah jambu, pemberian laki-laki yang baru dikenalinya selama beberapa hari itu.

           “Jadi, bagaimana. Apa njenengan bersedia menerima Mas Tomi, sebagai pengganti ayahnya Mas Aidan?”

Riana kembali mempertanyakan hal yang sebenarnya belum ingin dijawab oleh Mita. Mempertanyakan keseriusan Mita dalam proses pengenalannya dengan Tomi, ia sangat berharap rekan kuliahnya itu bisa menikah segera.

           “Mohon maaf, Bu. Untuk saat ini, saya belum bisa menjawab pertanyaan dari Ibu. Mungkin, dalam waktu dua pekan nanti akan saya kabari lagi.”

Meskipun belum bisa menjawab, tapi Mita berjanji pada Riana bahwa akan menjawab pertanyaan Riana sesegera mungkin. Sebab, menikah adalah hal baik. Tidak boleh menunda-nunda kebaikan dalam waktu yang cukup lama.

           “Baik, saya mengerti. Semoga segera diberi keyakinan oleh Allah, ya. Semoga juga, Mas Tomi kelak bisa menjadi jodoh dan ayah terbaik untuk Mas Aidan, ya meskipun bukan sebagai ayah kandungnya.”

Besar harapan Riana, agar kedua rekannya itu benar-benar berjodoh. Agar kelak, hubungan Riana dan keduanya tidak terputus. Sedang Riana sendiri, sampai saat ini belum juga ingin mencari jodoh karena memang ia masih menunggu seseorang yang pernah berjanji untuk menikah dengannya sebelum pergi jauh ke luar kota, beberapa tahun lalu. Namun, sampai sekarang, belum juga lelaki itu pulang dari rantauannya. Apakah lelaki itu melupakan janjinya?

           Keduanya lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing, menunggu kedatangan siswa-siswinya di depan gerbang, mengucapkan selamat pagi, dan memberikan semangat untuk siswa-siswinya. Hingga senyum manis yang terukir itu seketika hilang ketika Suryo datang ke sekolah dengan sepeda RX King miliknya, tentu dengan seorang perempuan yang sudah menempati jok belakang motornya. Lelaki itu sedikit melirik ke arah Mita, tapi kemudian ia kembali fokus pada kendali motornya.

           “Jangan lagi dirisaukan. Fokus saja dengan anak-anak.”

Lihat selengkapnya