Malam hari yang harusnya dilewati dengan ketenangan, harus dihadapi Mita dengan penuh ketegangan, bagaimana tidak? Ternyata yang datang adalah laki-laki yang sejak dari awal sangat ingin Mita hindari. Kali ini, laki-laki itu datang sendirian. Tanpa ada satu pun yang mendampinginya.
“Ayo menikah denganku sekarang juga!”
Suryo menarik tangan Mita dengan amat keras, hingga membuat Mita memekik kesakitan. Namun, semakin Mita berteriak semakin kencang Suryo menggenggam tangan perempuan itu.
“Tolongg! Tolong!!”
Melihat sang anak sedang dalam bahaya, Mbok Sri pun sama, berteriak kencang supaya ada yang bisa melepaskan tangan anaknya dari cengkeraman laki-laki tak tahu diri itu. Raut wajahnya terlihat amat ketakutan, melihat sang anak dalam bahaya seperti ini.
Untung saja, setelah Mbok Sri berteriak, para warga mulai berdatangan, menolong Mbok Sri dan Mita yang saat ini berada dalam ancaman serius Suryo. Tanpa menunggu lama, warga sekitar langsung menyeret Suryo, menjauhkan laki-laki itu dari Mita dan semuanya sudah siap menghantamkan tinjunya pada wajah Suryo. Namun, tak lama kemudian datang pula seorang kepala desa untuk mendamaikan perseteruan tersebut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?”
Lelaki berwajah teduh dan sangat menenangkan itu bertanya, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah joglo milik Mbok Sri, malam-malam begini? Sebab, biasanya rumah itu begitu tenang jika terlihat dari luar.
“Ini, Pak. Laki-laki ini terus memaksa saya supaya saya bersedia menikah dengannya. Padahal, dia sendiri juga sudah memiliki calon istri.”
Sebagai perempuan yang sedang terdesak, tentu Mita harus membela dirinya. Mengatakan apa yang telah terjadi, supaya setelah ini Suryo tak lagi mengganggu ketenangan hidup yang sangat ia rindukan setelah ia ditinggal mati oleh suaminya.
“Tidak, Pak. Bohong! Itu semua tidak benar! Justru Mita sendiri yang menggoda saya agar saya bersedia mampir ke rumahnya.”
Merasa keselamatannya terancam, Suryo juga membela dirinya. Jangan sampai nama baiknya tercemar karena ulahnya sendiri. Bisa gagal ia menikahi Sintya yang seorang gadis desa paling kaya di kampungnya.
“Mas Adnan, apa saja yang kamu lihat tadi sebelum Bapak ke sini, Le?”
Tak ingin ambil pusing, kepala desa itu segera bertanya pada Adnan sebab yang ia tahu, anak kecil akan selalu jujur dengan apa yang ia katakan. Supaya permasalahan ini juga segera menemukan titik terang.
“Saya lihat, tadi teman Ibu, tarik-tarik tangan Ibu sampai Ibu nangis, Pak. Bahkan meskipun Si Mbok sudah datang, teman Ibu nggak ngelepas cengkeramannya.”
Benar saja, Adnan mengatakan segala yang ia lihat pada kepala desa. Ia sendiri juga takut jika lelaki itu terus datang dan mengganggu kehidupan ibunya yang selama ini begitu tenang dan damai.
“Benar begitu, Mbak Mita?”
Berkali-kali kepala desa menanyakan bagaimana kejadian yang sebenarnya kepada Mita dan keluarganya. Supaya tidak ada pihak yang dirugikan, selain itu hal ini dilakukan supaya pihak yang memang bersalah dapat mengambil pelajaran dari apa yang telah dilakukan kepada orang lain.
Mita tak menjawab, ia hanya buru-buru menghapus air mata yang mengalir dan membasahi jilbabnya. Supaya air matanya itu juga tak dilihat oleh Adnan, malaikat kecil yang selama ini menjadi penghibur hatinya. Sebab, jika anak kecil itu tahu, pasti dia ikut menangis juga.
“Mas, njenengan itu seorang guru. Di mana, segala hal yang dilakukan akan menjadi contoh bagi siswa-siswinya. Orang tua njennegan juga sosok yang sangat paham agama. Apa iya, akan dirusak dengan perilaku anaknya yang seperti ini?”
Tidak dengan kekerasan, justru kepala desa menasehati Suryo dengan penuh kelembutan. Lelaki tua itu hanya memberi pengarahan, bagaimana seharusnya orang seperti Suryo harus bersikap. Sebab, perilakunya yang sekarang benar-benar sangat menyimpang.
“Tapi saya mencintainya, Pak.”
Benar, cinta memang membutakan mata manusia, bahkan rela melakukan apa pun asal ia bisa hidup dengan perempuan dan orang yang dicintainya. Tak peduli, bagaimana keadaan orang yang dicintai tersebut.
“Cintailah semuanya sewajarnya saja. Jangan pernah membuat orang yang kamu cintai merasa risih terhadap kehadiranmu.”