“Tolong! Tolong akuu!!!”
Tiba-tiba, Mita berada di sebuah gurun pasir luas yang sangat tandus, tenggorokannya terasa begitu kering. Tidak ada satu pun mata air yang ia temukan di sini, ia berlari ke sana kemari, tetapi tak juga ditemukan mata air yang dapat digunakan untuk sekadar membasahi kerongkongannya.
“Terimalah ini.”
Seorang lelaki berbaju putih dengan membawa sebotol air, kemudian memberikan botol itu pada Mita yang sangat amat kehausan di padang pasir yang amat gersang tersebut. Lelaki itu tersenyum setelah memberikannya pertolongan berupa sebotol air kepada Mita.
“Terima—”
Ucapan terima kasih Mita terpotong, saat ia hendak mengucapkan terima kasih pada laki-laki tersebut. Sama seperti hari-hari sebelumnya, tiap laki-laki itu datang menolong Mita, dan Mita ingin berterima kasih, laki-laki itu menghilang entah ke mana.
Perempuan berusia 30 tahun itu berusaha mencari keberadaan lelaki yang baru saja menolongnya, ke sana, ke mari. Namun, tetap saja, nihil Mita tak kunjung menemukan laki-laki yang selalu menolongnya saat ia merasa kesulitan itu.
Lantas, jika begitu bagaimana caranya agar Mita bisa berterima kasih? Jika tiap Mita hendak mengucapkan terima kasih, lelaki itu hilang tiba-tiba. Beberapa saat setelah mencari keberadaan laki-laki penolongnya, ada sebuah cahaya yang begitu silau hingga membuat Mita menutup matanya.
Mita pun tersadar, kejadian ini hanya mimpi. Sudah tiga kali ia memimpikan laki-laki itu setelah sholat istiqarah, dengan begitu Mita merasa yakin bahwa Tomi adalah jodohnya, jodoh dunia akhirat yang telah ditetapkan untuknya. Esok pagi, ia harus segera menghubungi Riana untuk memberitahukan hal ini, supaya Tomi bisa bernafas lega juga karena Mita telah menjawab pertanyaan yang berkali-kali diajukan oleh lelaki itu.
Sebab, sudah beberapa kali Tomi meminta kejelasan dari Mita, meskipun hal itu diutarakan secara tersirat dalam perilaku Tomi akhir-akhir ini. Namun, Mita sadar, bahwa sebenarnya lelaki itu sedang meminta jawaban dari pertanyaan yang diajukan olehnya beberapa waktu lalu.
Dan, ya sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjawab semua pertanyaan yang kemarin telah diajukan, sayangnya ini akhir pekan, jadi Mita tidak bisa langsung membicarakan apa yang jadi jawaban atas pertanyaan Tomi beberapa hari lalu kepadanya. Jalan satu-satunya agar mereka berdua bisa berkomunikasi dengan cepat adalah dengan mengunjungi wartel yang ada di depan rumahnya.
Ah, untung saja teman mengajarnya itu memiliki telepon di rumahnya. Jadi, kapan pun Mita mau menghubungi Riana, akan semakin mudah. Sebelum berangkat ke wartel terdekat, perempuan itu merogoh koceknya, mencari sisa-sisa uang koin yang nantinya bisa digunakan untuk membayar saat berada di wartel, karena memang tarif telepon dihitung berdasarkan berapa lama telepon itu berlangsung.
Syukurlah, ternyata masih ada sepuluh ribu rupiah, sisa belanja kemarin pagi yang dapat digunakan untuk membayar biaya telepon wartel nanti. Setelah rapi, perempuan itu melangkahkan kakinya dengan ringan menuju wartel yang ternyata sudah ada tiga orang yang mengantre sejak tadi, tapi tak ap aini semua demi cintanya yang nanti akan berlabuh di pelaminan.
“Sudah lama antre, Mbak?”
Mita mulai membuka obrolan pada seorang perempuan yang ditaksir usianya jauh lebih muda dari dirinya. Ia melihat perempuan itu begitu cemas, seperti sedang memikirkan sesuatu yang begitu berat.
“Baru beberapa menit, kok Mbak. Gak terlalu lama juga.”
Perempuan itu memberikan seulas senyum pada Mita, berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia tak ingin dipandang sebagai perempuan lemah di depan orang lain yang belum ia kenal.
Namun, di tengah-tengah obrolan mereka keheningan terpecah, ketika seorang pencopet mencoba merebut dompet yang dipegang oleh perempuan muda tersebut. Sontak saja perempuan itu berteriak kencang, hingga membuat orang yang ada di sekitarnya bergerak dengan cepat merebut dompet milik wanita itu.
“Mbak, lain kali hati-hati, ya. Kita ga tau gimana sikap orang-orang di sekitar kita. Kita harus selalu waspada dengan siapa pun yang ada di sekitar kita, tak menutup kemungkinan bahwa kejahatan itu datang dari orang terdekat sekalipun. Sekarang, Mbak pulang dulu saja. Tinggal di dekat sini juga, kan?”
Setelah memberikan perempuan muda itu segelas air mineral, Mita menyuruh perempuan itu pulang kembali, sampai perempuan itu merasa tenang kembali. Lagipula, aneh-aneh saja, ada orang yang memanfaatkan kelengahan orang lain untuk merampas hak miliknya.
“Kalau saya tunda kirim uang lagi, bagaimana nasib orang tua saya di kampung, Mbak? Saya anak pertama, semua kebutuhan keluarga, saya meng-handlenya. Ini saya ingin meminta bukti identitas ibu saya, sebagai syarat pengiriman uangnya.”
Perempuan itu tertunduk lesu, terbayang bagaimana keluarganya di kampung yang saat ini pasti tengah menunggu, untuk kabar baik yang dibawa oleh perempuan itu, untuk dapur yang terus mengepul, biaya bulanan sekolah yang terbayar, dan obat-obatan bapaknya yang terus terbeli.
“Ya sudah, silakan hubungi orang rumah dulu, nanti saya temani Mbak di sini.”