Semenjak acara lamaran itu digelar, Tomi jadi sering berkunjung di rumah Mita. Sekadar bersilaturahmi atau mengurus perlengkapan pernikahan. Termasuk juga mengurus keperluan pernikahan mereka yang sebentar lagi akan digelar. Kebetulan prosesi akad nikah akan digelar di rumah Mita, sementara prosesi ngunduh mantu akan dilakukan di rumah Tomi.
Hari ini, rencananya Mita dan Tomi akan melakukan check kesehatan di puskesmas setelahnya mereka akan melakukan cetak foto untuk syarat pemberkasan pernikahan. Tomi sudah menghubungi Mita, laki-laki itu berjanji akan menjemput tunangannya itu pukul sepuluh pagi.
Namun, ini sudah jam sepuluh lewat tapi tak juga ada tanda-tanda Tomi datang menjemputnyaa. Padahal, Mita sudah siap berangkat ke puskesmas beberapa jam lalu. Sudah tiga kali ini Mita bolak-balik ke wartel hanya untuk menghubungi Tomi, tapi hasilnya sama tidak aktif juga. Apa maunya laki-laki itu? Jika hendak membatalkan penyiapan administrasi pernikahan, harusnya bisa saja Tomi mengatakan itu sejak jauh-jauh hari. Jadi, tak ada pihak yang dikecewakan dari sini.
Harus bagaimana sekarang? Apa Mita jemput suaminya sendiri di kostnya? Lantas, apa yang hendak dikatakan orang-orang di sekitarnya jika mengetahui, bahwa si perempuan yang menjemput laki-laki terlebih dahulu? Mita terus mengecek jam tangannya, menunggu kekasih hatinya tiba dengan senyum indahnya.
“Tomi belum datang juga dari tadi?”
Mbok Sri pun juga merasa sedikit aneh, dengan perilaku calon mantunya yang belum juga datang pada jam awal yang telah disepakati bersama. Ini sudah jam sepuluh lebih, tapi kekasihnya belum juga menampakkan diri. Bagaimana maksudnya?
“Belum.”
Singkat dan wajahnya yang masam. Padahal, kemarin janjinya begitu meyakinkan jika hari ini memang mereka mau mengurus semuanya. Lantas, jika hari ini batal? Hendak kapan lagi mereka mengurus semuanya.
“Sudah coba kamu hubungi?”
Kini perempuan itu duduk di sebelah anaknya, melihat ada sebuah kecemasan di antara kedua mata Mita, kedua pelupuk matanya basah, hampir jatuh air mata itu membasahi kerudung perempuan berusia 30 tahun itu.
“Sudah tiga kali Mita bolak-balik wartel, Buk. Tapi tetap saja, tidak ada jawaban dari Mas Tomi, nomornya tidak aktif.”
Entah sudah berapa kali Mita mondar-mandir di depan meja tamu itu, meja yang menjadi saksi bahwa Mita telah dipinang oleh laki-laki yang sangat ia cintai, meski dengan pertemuan yang cukup singkat itu.
“Sabar, mungkin saat ini dia sedang berada di jalan, menghadapi kemacetan. Lagipula ini kan jam kerja. Mungkin jalanan perkotaan sedang macet-macetnya.”
Sebagai orang tua dari Mita, Mbok Sri sebenarnya juga khawatir. Khawatir jika hal buruk terjadi pada anaknya. Jika seorang laki-laki yang awalnya begitu yakin, bisa menerima Mita dengan tulus, justru menimbulkan luka serius yang sakitnya akan tetap bertahan bahkan sampai kapan pun.
“Dia kerja di kebun, Bu.”
Mita menolehkan wajahnya dengan penuh keputusasaan yang sudah sangat terlihat jelas. Ia tak tahu, apalagi yang sedang disiapkan Allah untuknya jika kegagalan pernikahannya denga Tomi bisa terjadi. Apakah nanti, derajatnya akan naik satu tingkat sebagai hamba yang bertakwa di sisi-Nya, atau menjadi manusia yang ikhlas tiada tara atas segala ketentuan yang ada?
Namun, di tengah rasa khawatirnya yang teramat sangat, saat menunggu calon suaminya yang tak kunjung datang. Telinga Mita lamat-lamat menangkap suara sepeda motor yang mirip dengan suara sepeda milik Tomi. Ia berharap bahwa sepeda itu tetap milik laki-laki yang kehadirannya sangat amat ia tunggu.
Namun, kekecewaan tetap menjadi takdirnya hari ini. Ya, ternyata yang lewat bukan Tomi, melainkan seorang petani yang baru saja pulang dari sawahnya. Waktu semakin siang, tapi tak juga Tomi datang menepati janjinya. Akankah ia lupa dengan agenda pentingnya hari ini dengan Mita? Ataukah ada kepentingan mendadak, yang membuat Tomi membatalkan acaranya dengan Mita hari ini?
“Sudah pukul satu siang, tapi Mas Tomi belum ada kabar. Lebih baik, aku berganti baju dan menjalankan salat Dhuhur. Berdoa, semoga tak ada hal buruk yang menimpa Mas Tomi di sana.”
Daripada hatinya terus disakiti oleh ekspektasinya sendiri yang terlalu tinggi tentang kehadiran Tomi yang justru sampai sekarang, belum ada kejelasannya. Lebih baik Mita menjalankan sholat Dhuhur, meminta ketenangan hati kepada Allah. Serta dihilangkan dari kepalanya beban-beban yang mengganggu. Semoga, ini hanya ujian kecil yang datang dalam hidup Mita menjelang pernikahannya. Semoga kelak, baik Mita maupun Tomi bisa hidup berbahagia kelak, jika sudah menikah.
Waktu sudahh menunjukkan pukul satu siang, perempuan berusia 30 tahun itu bergegas menghapus riasan tipis yang sempat mempercantik wajahnya, supaya ia bisa berwudhu dengan leluasa, sebelum sholat Dhuhur. Meminta kepada Allah, supaya niat baiknya ini diperlancar tanpa ada ujian berat yang harus dia rasakan terlebih dulu.
Sebab, yang Mita tahu bahwa jika sepasang anak manusia hendak menikah terdapat empat puluh setan yang akan berusaha menggagalkan pernikahan mereka, sepuluh di pihak pribadi, sepuluh di pihak pasangan, sepuluh di orang tua, dan sisanya berada di calon mertua. Setiap sholat, Mita selalu berdoa, semoga ia selalu dikuatkan menuju hari bahagianya. Tidak ada halangan dan ujian yang berarti menuju masa bahagia itu.
“Nduk, Mita. Kamu di mana, Nduk?”
Di tengah-tengah sedang menjalankan sholat Dhuhur, Mbok Sri yang baru saja pulang dari pasar untuk membeli ikan asin, berteriak-teriak mencari anaknya, yang ia sendiri belum tahu bahwa anaknya baru saja hendak memulai sholat Dhuhur.