Pernahkah kau merasa hidupmu begitu membosankan? Seolah, setiap hari adalah hari yang sama, yang harus dijalani dengan cara yang sama, ritme yang sama, rutinitas yang sama, hingga akhirnya kau tiba pada sebuah pertanyaan, “Apa yang aku lakukan di sini?
Aku selalu merasakannya setiap hari. Semenjak 17 tahun yang lalu ketika aku mulai menjadi salah satu penghuni bumi ini. Meski mungkin 17 tahun itu terlalu berlebihan, ya? Jika memperhitungkan empat tahun pertama masa balitaku ketika aku bebas, maka rutinitas menjemukan ini sudah aku alami selama 13 tahun. Tetap saja itu waktu yang lama! Dan … oh GOD! What the hell I’m doing here? I’m not belong here!
TIN!
Aku tersentak dari lamunanku. Rupanya lampu lalu lintas sudah menyala hijau dan mobil di belakang sepertinya sudah tidak sabar untuk maju. Aku segera memajukan Starlet merahku melewati perempatan. Sekolahku sudah dekat.
Lalu lintas dari Pondok Kelapa menuju Rawamangun memang selalu padat terutama pada hari kerja. Biasanya, lalu lintas paling terasa padat pada jam enam hingga tujuh pagi. Banyak yang bilang kalau penyebabnya adalah karena berbarengan dengan jam berangkat para pelajar, terutama pada hari pertama tahun ajaran baru. Seperti sekarang, pada pertengahan bulan Juli ketika tahun ajaran 1995-1996 dimulai. Sebuah “penghinaan” untuk kami—para pelajar—sebenarnya Sekaligus juga pertanyaan besar, karena jika kami memang dianggap sebagai biang kerok kemacetan, mengapa tidak liburkan saja sekolah selamanya?
Jam pelajaran di sekolahku dimulai pada pukul tujuh lewat lima belas menit. Dan sekarang … oh yeah! Masih pukul setengah tujuh—lebih sedikit. Ini rekor! Karena biasanya aku baru datang pada detik-detik akhir menjelang gerbang sekolah ditutup … dan lebih sering ketika gerbang benar-benar sudah tertutup rapat.
Jujur, aku sering datang terlambat. Kalau sudah begitu, aku memiliki dua opsi. Pertama, tentu saja aku harus menunggu jam pelajaran pertama selesai atau guru yang mengajar berganti. Hanya saja, menunggu, artinya aku harus bersiap menerima hukuman dari guru piket. Hukuman itu mulai dari berdiri di tengah lapangan sambil hormat bendera, sedikit berolahraga seperti push up atau lari keliling lapangan, hingga menjadi relawan dadakan untuk membersihkan kamar mandi sekolah.
Aku kapok. Maka, aku lebih sering memilih opsi kedua, yaitu membolos. Jadi, ketika aku melihat gerbang sekolah sudah ditutup, aku akan memarkir mobil di pinggir jalan yang memang biasa digunakan sebagai tempat parkir bagi murid-murid yang membawa mobil ke sekolah, lalu kabur.
Aku tidak berani menggunakan mobil untuk membolos karena jalan di depan sekolah adalah jalur orang tuaku menuju kantor. Jika mereka tidak menemukan mobilku di pinggir jalan, aku bisa ketahuan. Wah, aku tidak bisa membayangkan apa jadinya jika mereka tahu aku tidak sekolah. Meski ini artinya aku telah membohongi mereka … oh Tuhan … mohon jangan bilang aku anak durhaka. Sungguh, aku menyayangi mereka. Hanya saja, aku tidak suka sekolah dan butuh sedikit kebebasan—dan mereka tidak paham. Itu saja, kok.
Aku memarkir mobil di tempat biasa. Hari ini adalah hari pertamaku sebagai siswa kelas tiga pada jurusan A1 yang—katanya—merupakan tempatnya anak-anak berotak encer, rajin belajar, baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung. Kecuali aku, sepertinya.
Aku memang anomali, ibarat titik hitam pada matahari, atau jerawat pada wajah mulus para model majalah remaja. Dan … seriously, what the hell I’m doing here?
“Stevie!”
Seseorang menepuk pundakku begitu aku keluar dari mobil. Veby, Olivia, dan Gal—teman-teman satu genk-ku juga sudah datang rupanya. Aku melempar senyum ke mereka.
“Eh, lihat itu.” Gal mengeluarkan salah satu tangannya dari saku jaket dan menunjuk ke arah gerbang.
Aku mengikuti arah telunjuk Gal, dan langsung paham.
Pak Arif, kepala sekolah kami, setiap pagi selalu berdiri di depan gerbang sekolah untuk menyalami satu per satu murid yang datang.
“Selamat pagi, Pak.” Sayup-sayup aku mendengar seorang murid mengucapkan salam, kemudian meraih tangan Pak Arif untuk menyalami sambil mencium tangannya.
“Selamat pagi.” Pak Arif membalas salam dengan suaranya yang berwibawa.
“Eh.” Gal kembali mencolekku. “Kerjain, nggak?” Ia tersenyum nakal.
Aku pun memelotot. “Gila, lu! Ini baru hari pertama sekolah, lu udah mau ngerjain orang aja.”
“Lho, justru karena hari pertama kita harus memberikan ‘kenangan’ kepada kepala sekolah kita tercinta.” Veby memanas-manasi.
Pak Arif masih ceria tersenyum kepada setiap murid dengan wajah charming-nya.
Aku menatapnya, dan terkikik pelan, lalu membalik badan menghadap mobil. Ketiga temanku mengikuti. Lalu….
Puih … cuih! Kami meludahi tangan masing-masing. Air ludah itu lalu kami gosokkan ke seluruh telapak tangan hingga terasa basah dan lengket.
Iiih….
Kami mendelik jijik dengan ulah kami sendiri.
“Cukup?” tanya Olivia. Wajahnya menunjukkan ekspresi antara geli dan jijik.
“Cukup,” jawabku.
Kami berempat kemudian dengan penuh percaya diri berjalan menuju gerbang sekolah.