Jam pelajaran belum berakhir, tetapi kantin sudah lebih ramai dari biasanya. Jam selesai pelajaran adalah pukul dua belas lebih lima belas menit. Setelah itu adalah istirahat makan siang, lalu dilanjutkan dengan pengayaan pada pukul 13.15. Jam pengayaan sendiri berlangsung selama empat puluh lima menit untuk satu mata pelajaran. Jika ada dua mata pelajaran, maka jam sekolah baru berakhir pada pukul 14.45. Kami sudah seperti orang kantoran saja. Namun, tenang saja! Aku jarang mengikuti pengayaan. Hampir tidak pernah malah.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Kegiatan sekolah memang belum berjalan normal. Buktinya, beberapa siswa sudah berada di kantin sebelum jam pelajaran resmi berakhir. Situasi seperti ini tampaknya akan berlanjut hingga seminggu ke depan.
“Bosan,” ujar Veby tiba-tiba.
Aku tertawa. “Sama,” jawabku singkat. Konsentrasiku tertuju pada semangkuk mi ayam yang kuahnya masih terasa panas.
“Mau cabut aja?” tawar Gal.
“Habis ini, kan, memang nggak ada pelajaran lagi,” timpal Olivia.
“Bukan.” Gal menyeruput es kelapanya. “Maksud gue besok.”
Aku spontan tertawa.
“Dah dapet ‘ACC’ tuh dari si ratu bolos.” Veby melirikku.
“Enak aja lu!” Aku mendorong pundaknya.
Veby tertawa terbahak-bahak. “Semua sibuk mengurusi penataran,” ujarnya lagi. Kali ini nada suaranya mendadak serius.
“Anak OSIS sibuk jadi panitia. Anak PS[1] sibuk ngajarin nyanyi. Anak Paskib[2] sibuk ngajarin baris-berbaris. Anak ekskul[3] siap-siap mau nampang. Ya tinggal kita aja, nih, yang ‘pengangguran’. Maklum, namanya juga ‘ampas’ sekolah.” Tiba-tiba Veby menjadi sinis.
Aku pun ikut tertawa—sinis juga. Mau bilang apa? Sekolah memang kenyataannya BUKAN untuk semua orang. Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama di sekolah. Realistis saja. Memangnya semua orang bisa menjadi ketua OSIS? Bahkan menjadi pengurus pun belum tentu. Atau, apa kau pikir semua orang pasti ditawari menjadi anggota Paskibra? Dan untuk yang paling sederhana sekalipun, seperti pemeringkatan di kelas, apa kau pikir setiap anak pasti pernah mencicipi berada di ranking puncak?
Jadi, benar kata Veby. Kami ini memang ampas. Sampah, sisa, residu, yang tidak ada gunanya. Satu-satunya yang membuat kami dikenal hanyalah reputasi kami (aku terutama) yang sering dipanggil guru bimbingan konseling karena terlalu banyak absen.
Hari semakin siang. Sayup-sayup terdengar suara bel tanda berakhirnya pelajaran hari ini. Kantin semakin penuh dengan orang.
Aku menatap kerumunan berseragam putih-abu-abu yang semakin banyak menyemuti kios-kios penjual makanan. Sementara, di sudut yang lain, orang-orang yang berkerumun tampak lebih berwarna-warni, dengan pakaian yang tidak seragam—meski mayoritas mengenakan bawahan berwarna biru tua.
Rupanya siswa kelas satu belum percaya diri untuk ikut berbaur dengan senior-seniornya. Mungkin mereka takut “digencet” oleh siswa-siswa senior, meski kepala sekolah dan para guru menjamin tidak ada senioritas atau perundungan dan akan menindak tegas pelakunya.
Namun, aku tidak setuju jika ada yang bilang senioritas itu tidak ada. Senioritas selalu ada di setiap sekolah. Bohong besar jika pihak sekolah menyatakan tidak ada senioritas. Contoh? Kantin yang kau lihat saat ini! Jika tidak ada senioritas, siswa kelas satu pasti sudah percaya diri untuk berbaur dengan senior-seniornya tanpa rasa takut. Kenyataannya, kantin ini adalah bukti nyata dari tradisi senioritas itu sendiri.
Asal tahu saja, kantin ini terbagi ke dalam beberapa “wilayah”. Wilayah paling luar yang tidak ada atapnya dan hanya tersedia kursi plastik diperuntukkan bagi siswa kelas satu. Wilayah di bagian tengah adalah untuk siswa kelas dua. Dan wilayah paling dalam dengan fasilitas kantin lengkap mulai dari meja, kursi hingga atap adalah untuk siswa kelas tiga.
Ini bukan aturan resmi, apalagi tertulis. Namun, jika ada yang berani melanggar, dijamin urusannya akan panjang! Tentu saja senior memiliki diskresi di mana mereka bisa menggunakan wilayah junior, tetapi tidak sebaliknya.
“Sssttt….” Gal tiba-tiba berbisik.
Aku menoleh.
“Ini….” Gal berkata pelan sambil mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku jaket olahraga yang selalu dikenakannya.
Olivia langsung terbelalak. “Gila, lu!” ujarnya tertahan.
Aku pun memelotot. “Jangan di sini, Gal!” Aku mencoba berbisik agak keras.
Gal tersenyum nakal.
“Kalau ada yang lihat bagaimana?” bisik Veby.
“Siapa?” Gal mengedarkan pandangannya. “Di sini nggak ada guru,” ujarnya lagi.
“Ya maksud gue anak-anak yang lain,” ujar Veby lagi.