Aku ingin bercerita tentang ketiga sahabatku: Gal, Olivia, dan Veby. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kami sudah bersama semenjak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Waktu itu kami baru akan mengikuti masa Penataran P4, dan terlambat datang di hari pertama. Hasilnya, kami berempat dihukum berdiri di tengah lapangan upacara, di depan ratusan murid yang lain termasuk siswa kelas dua dan tiga.
Setelah upacara selesai, ternyata hukuman masih berlanjut. Karena setelah itu giliran para pengurus OSIS yang menjadi panitia yang menghukum kami. Macam-macam hukuman yang kami terima. Mulai dari disuruh berjalan jongkok dari lapangan upacara ke ruang OSIS, kemudian diminta mengumpulkan tanda tangan para pengurus OSIS—yang tentu saja mereka tidak mau memberikan tanda tangan gratis tanpa mengerjai kami. Dan … ah, entah apalagi, aku lupa! Pendeknya, kami dikerjai habis-habisan.
Jadi, jangan salahkan jika kemudian kami menjadi sinis dengan OSIS. Sekolah boleh saja melarang senioritas atau “gencet-gencetan” dan akan menindak tegas pelakunya, kecuali pengurus OSIS. Menyebalkan sekali, bukan?
Baik, cukup sudah kritikanku terhadap OSIS yang menurutku lebih mirip kumpulan para penjilat guru. Aku ingin kembali memperkenalkan teman-teman baikku. Pertama, yaitu Gal. Nama sebenarnya adalah Galuh—nama yang cantik dan manis untuk perempuan. Namun ia lebih suka dipanggil “Gal”. Cukup satu suku kata: “Gal”, dengan pelafalan terkadang “Gal” atau “Gel”—tergantung selera dan mood. Gal ini satu aliran denganku: “sinisme”, kadang “anehmisme”. Kami sering berdiskusi tentang banyak hal dan ia adalah satu-satunya yang bisa memahami semua kebiasaan dan pemikiranku—meski ada kalanya kami tidak sepaham. Kami berdua sudah seperti saudara.
Temanku yang kedua, yaitu Olivia. Sebenarnya Olivia ini yang paling waras di antara kami. Ia cenderung rajin belajar (meski nilainya tetap saja tidak mencukupi untuk menembus peringkat sepuluh besar di kelas), (berusaha) menyukai sekolah, agak takut untuk membolos (kecuali kalau kami mengomporinya), dan tidak berani macam-macam baik dengan guru ataupun senior (dulu ketika masih kelas satu).
Dan terakhir, yaitu Veby. Di antara kami, Veby adalah yang penampilannya paling modis. Baju seragamnya selalu satu ukuran lebih kecil … atau jangan-jangan malah lebih kecil lagi? Karena kadang kami mengira kalau ia salah memakai seragam adiknya. Roknya juga selalu di atas lutut. Yang jelas, jika kami berempat sedang berkumpul, Veby adalah yang paling sering dilirik para lelaki.
Gaya berpakaian Veby tak ayal membuatnya dulu sering “digencet” oleh senior. Seperti tahu-tahu dipanggil hanya untuk diomeli tanpa sebab. Umm … bukan tanpa sebab juga sebenarnya, karena penyebabnya sudah jelas terpampang di depan mata: baju yang terlalu ketat dan rok yang terlalu mini.
Sikap Veby terhadap gencet-gencetan jelas berbeda denganku. Sebagai orang yang sering menjadi korban, ia merasa memiliki priviles yang sama ketika menjadi senior. Yah, justifikasi macam “gue dulu juga digituin”. Walhasil, aku dan Veby sering berdebat jika sudah membahas hal ini.
Seperti yang terjadi sekarang. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan kejadian di kantin barusan!
“Elu harusnya nggak usah sok pahlawan kayak tadi!” Veby membakar lintingan, mengisapnya, dan mengembuskan asapnya.
Aku menyandarkan punggung ke tembok. Kompleks gedung olahraga di samping sekolah ini memang tempat tongkrongan favorit kami. Terutama sekali karena di sini kami bisa bebas mengisap rokok … atau ganja.
“Kenapa?” Aku menatap lintinganku.
“Karena itu bakal bikin mereka manja,” jawab Veby.
“Manja gimana?”
Veby kembali mengembuskan asap dari mulutnya.
“Mereka harus tahu kalau dunia SMA itu keras. Ada hal-hal yang harus mereka pahami. Semacam peraturan tidak tertulis, tradisi, biar bisa bergaul dan nggak cemen.”
“Nggak ada hubungannya,” sanggahku.
“Ada.” Veby bersikeras. “Yang elu lakukan tadi akan membuat mereka berpikir bahwa apa pun yang mereka lakukan, pasti akan ada yang membela. Itu nggak bagus, Stev. Itu akan bikin mereka manja. Masih mending kalau manja. Gimana kalau ngelunjak?” Veby berkata berapi-api.
“Lu over banget, sih?” Aku bertahan dengan pendapatku. Memangnya aku tidak ngelunjak? Aku tidak suka diatur, belum lagi dari dulu suka terlambat dan membolos, dan menjadi langganan pasien guru bimbingan konseling. Apa namanya kalau bukan ngelunjak?
Veby menatapku. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksetujuan dan ia siap mendebatku.
Aku sebenarnya memahami pemikirannya. Lebih tepatnya, perasaannya. Ia dendam, dan sekarang ia ingin membalaskan dendamnya. Tentu bukan ke senior-seniornya, melainkan ke adik-adik kelasnya—seperti umumnya isi kepala siswa SMA yang ingin membalaskan dendam mereka kepada adik kelas!