Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #4

PACAR

Karena hari pertama sekolah berakhir dengan pertengkaran antara aku dan Veby, maka hari ini aku tidak bisa menghabiskan waktu dengan teman-temanku itu. Pasti rasanya tidak enak jika kami bersama-sama tetapi ada yang saling diam. Jadi, tampaknya aku harus menghabiskan hariku dengan teman-teman sekelasku. Mungkin aku bisa memulainya dengan Astri.

Aku melirik ke samping. Dan seperti kemarin, Astri tetap sibuk dengan bukunya. Aku coba melirik buku yang dibaca Astri. Dengan sampul bergambar mikroskop dan bola-bola molekul, buku pelajarankah?

Aku menggaruk kepalaku yang mendadak gatal.

“Kenapa, Stev?” Tiba-tiba Astri menoleh dan tersenyum melihat tingkahku.

“Nggak apa-apa.” Aku tersipu, sambil mataku mencuri-curi pandang buku yang dipegang Astri.

Astri kemudian menutup bukunya.

“Lu nanti mau kuliah apa?” tanya Astri tiba-tiba.

Aku lagi-lagi tersenyum. Aku memang belum ada rencana apa pun.

“Gue mungkin nanti mau kuliah di jurusan HI,” ujarnya.

Aku menatapnya. Tidak mengerti.

“Hubungan Internasional.”

“Oh,” jawabku singkat. Walau aku juga masih belum mengerti itu jurusan macam apa.

“Atau mungkin Ekonomi Manajemen,” lanjutnya.

Aku mengangguk-angguk.

“UI[1]?” tanyaku basa-basi. Aku memang tidak terlalu tertarik membahas hal seperti ini.

“Iyalah!” jawabnya. “Gue udah lama ingin kuliah di UI. Salah satu kampus terbaik. Di jurusan terbaik juga.”

“Jurusan terbaik?” Aku tidak mengerti.

“Yah, maksud gue, yang passing grade-nya tinggi. Jurusan terbaik. Dengan peminat terbanyak, sehingga yang terpilih benar-benar bibit unggul.” Nada suaranya seolah pamer.

“Oh….” Aku menanggapi dengan nada tak acuh.

“Untuk pilihan ketiga, mungkin gue bakal ambil matematika. UI juga.” Ia kembali memaparkan rencana masa depannya.

“Kok tiga pilihan?” Akhirnya aku penasaran juga ingin menanggapinya lebih jauh.

“Aduh, Stev.” Nada suaranya kali ini agak terdengar mengejek.

Dan aku tidak suka—sejujurnya.

“Kan, gue nanti bakal mengambil paket ujian campuran. Karena jurusan yang gue pilih itu, kan, sosial semua, dan gue anak eksakta. Nggak mungkin, kan, gue cuma ambil jurusan sosial tanpa ada satu pun jurusan eksakta. Nah, jadi, pilihan jurusan ketiga yang gue ambil itu jurusan eksakta, matematika,” jelasnya panjang lebar.

Aku melongo mendengarnya. Baru kali ini aku melihat remaja seumurku memiliki rencana lengkap dan matang begini.

“Kalo elu pengen kuliah sosial, kenapa elu nggak ambil A3 aja?” Aku teringat pada teman-temanku yang semuanya mengambil jurusan A3.

Astri tertawa, lalu menatapku dengan pandangan heran.

“Masak elu nggak tahu, sih? Kalo elu mau sukses, mau bebas memilih jurusan apapun, elu harus ambil jurusan A1 di SMA! Kalo elu anak A1, elu bisa fleksibel ke mana pun yang elu suka. Even ngambil jurusan sosial. Kalo anak A1 sama A3 diadu, yang diutamakan itu ya anak A1.” Astri masih tertawa.

Aku semakin bingung. Benarkah demikian?

“Elu mau kuliah di mana memangnya?” Ia kembali mengulangi pertanyaannya.

“Di mana, ya?” Aku bingung. Sungguh. Aku memang sama sekali tidak memikirkannya.

“Rencanakanlah dari sekarang, Stev. Setidaknya, biar elu ada gambaran berapa nilai passing grade yang harus elu dapatkan.” Astri kembali tersenyum.

Entah kenapa, aku tidak suka dengan senyumannya itu. Seperti tengah mengejek … dan mengingatkanku pada Sean.

Sean adalah kakakku. Ia kini kuliah di Universitas Indonesia, jurusan teknik sipil. Tahun ini kuliahnya sudah menginjak semester lima. Sean memang kebanggaan keluarga. Sejak SD hingga SMA ia selalu menjadi juara kelas. Nilai matematika, fisika, dan kimianya di rapor tidak pernah kurang dari sembilan. Tentu saja ia berhasil mengambil jurusan A1 dan semakin cemerlang ketika berhasil diterima di jurusan Teknik Sipil UI—jurusan favorit di kampus favorit sebagai jaminan mutu untuk mendapatkan pekerjaan mapan demi masa depan yang cerah.

Orang tuaku sering membanding-bandingkan aku dengan Sean. Karena aku memang berbeda dengannya. Aku bukan juara kelas. Kalaupun ada angka cukup tinggi yang selalu aku dapatkan, itu adalah angka bolosku yang memang di atas rata-rata. Orang tuaku tidak menyukainya. Dan aku malah semakin bersemangat untuk menjadi anti-tesis dari kakakku itu.

Lihat selengkapnya