Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #5

MASALAH

Seperti dugaanku, sekolah baru mulai berjalan normal satu minggu setelah tanggal resmi dimulainya tahun ajaran baru. Karena, pada saat itulah penataran bagi murid baru selesai dan kegiatan belajar benar-benar dimulai.

Sayangnya, aku justru sudah tidak berminat lagi dengan sekolah. Ketika pelajaran benar-benar dimulai, aku sudah punya agenda tersendiri dengan teman-temanku. Gal, Olivia, dan juga Veby. Entah bagaimana, aku sudah tidak marahan lagi dengan Veby. Veby sendiri juga sudah tidak kesal denganku. Lebih tepatnya sudah lupa kalau pernah kesal denganku. Memang begitu, kan, hubungan pertemanan? Kadang kami bertengkar tanpa sebab yang jelas, dan di lain hari kami berbaikan lagi tanpa sebab yang jelas juga. It just happened!

Kami menyusun banyak agenda untuk bersenang-senang meski tahun ajaran ini baru dimulai. Mulai dari yang “standar” seperti bolos sekolah dan kabur ke mal, berburu party di kafe, hingga piknik ke Puncak. Semua kami lakukan tanpa sepengetahuan orang tua kami pastinya.

Jika kami tidak pulang, biasanya kami menggunakan tempat tinggal Gal sebagai alibi. Soalnya, Gal adalah satu-satunya di antara kami yang sudah tinggal sendiri di rumah kos. Tidak sendiri juga, sih, sebenarnya. Lebih tepatnya adalah ikut kakak Gal, Gilang, yang memang sudah berstatus mahasiswa dan kuliah di sebuah kampus negeri di kawasan Rawamangun juga. Sebagai mahasiswa, Gilang sudah diizinkan tinggal sendiri di luar rumah. Gal pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk ikut juga keluar dari rumah dengan menggunakan Gilang sebagai alasan. Tidak apa-apa tinggal sendiri, toh, ada kakak yang bisa menjaga dan mengawasi.

Kenyataannya, Gilang lebih sering asyik sendiri dengan dunia kuliahnya. Apalagi di semester gasal seperti sekarang ini ketika Gilang tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan OSPEK[1] bagi mahasiswa baru. Hasilnya, Gal mendapatkan kebebasan nyaris penuh untuk berbuat sesuka hati.

Begitulah kegiatan kami dalam menikmati masa-masa tahun terakhir sebagai siswa SMA. Semua berjalan lancar hingga suatu hari terjadi razia mendadak di sekolah.

“Selamat pagi!” Tiba-tiba sebuah suara berat mengagetkan seisi kelas pagi ini.

Aku pun menengadahkan kepalaku. Beberapa guru piket sudah berada di depan kelas.

“Mohon maaf mengganggu waktunya, Pak.” Pak Wahyu, guru olahraga berbadan besar yang sering merangkap sebagai patroli keamanan sekolah, meminta izin pada guru yang mengajar.

“Oh, iya, silakan.” Pak Sitanggang yang tengah mengajar matematika mempersilakan.

“Kami hari ini akan melakukan razia. Kami mendapatkan laporan bahwa ada yang membawa barang-barang yang dilarang maupun barang-barang yang tidak ada hubungannya dengan sekolah,” lanjut Pak Wahyu.

Sontak para murid langsung kasak-kusuk. Beberapa menunjukkan raut wajah tegang. Mereka tidak menyangka akan ada razia.

“Kami berharap kerja samanya. Mohon seluruh barang dan tas diletakkan di atas meja.”

Para siswa pun tidak punya pilihan selain patuh.

Salah seorang guru berjaga di pintu masuk. Selanjutnya, Pak Wahyu dan seorang guru lainnya mulai memeriksa satu per satu barang bawaan siswa. Pak Sitanggang mengawasi dari depan.

“Apa ini?” bentak Pak Wahyu ketika mendapati sebungkus rokok di tas salah seorang murid.

Andre, siswa tersebut, tampak gelagapan.

“Kamu mau jadi jagoan? Mau jadi preman?” bentak Pak Wahyu lagi.

Andre hanya bisa menunduk.

“Siapa nama kamu?” cecar Pak Wahyu.

Andre menyebutkan nama lengkapnya.

“Kamu ke ruang guru. Sekarang!” perintahnya.

Tanpa diperintah dua kali, Andre langsung menuju ruang guru.

Razia kembali berlangsung. Seluruh tas dan bawaan siswa diperiksa dengan teliti. Barang-barang yang ada di dalam saku baju maupun celana dan rok diperintahkan untuk dikeluarkan. Begitu juga dengan barang yang ada di dalam laci meja belajar.

Rampasan razia kali ini cukup banyak dan beragam. Mulai dari barang terlarang seperti rokok, sabuk dengan ujung besi, tabloid bergambar wanita dewasa, hingga barang-barang yang menurutku wajar tetapi dianggap mengganggu proses belajar seperti walkman, discman, kaset, compact disc, komik, novel, bahkan….

“Apa ini?” Pak Wahyu memperlihatkan buku milikku yang penuh coretan sketsa.

Aku diam saja.

Lihat selengkapnya