Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #6

BEBAS

Cusss….

Busa tebal keluar dari kaleng minuman yang kubuka. Aku langsung menenggaknya. Rasanya seperti campuran antara air tape dan cola. Kerongkonganku pun langsung segar. Dan kepalaku mulai sedikit terasa melayang. But yeah! I like it! Setidaknya aku bisa melupakan sejenak kepenatanku. Entah tentang sekolah ataupun rumah. Yah, aku juga butuh pelarian, kan?

Surat peringatan pertama di tahun ajaran ini akhirnya melayang juga. Memang aku tidak sampai terkena hukuman dari sekolah. Namun, jika surat itu sudah mendarat di tangan Papa, itu artinya aku dalam masalah. Karena—seperti yang sudah kuduga—Papa marah besar! Dan aku pun harus menerima hukuman dari Papa.

Hukuman itu, mulai dari penyitaan kunci mobil selama jangka waktu yang tidak ditentukan. Lalu aku harus mau diantar-jemput oleh sopir Papa setiap hari. Pulang sekolah, aku dilarang mampir—pokoknya harus langsung pulang ke rumah. Begitu sampai rumah, aku harus masuk ke dalam kamar dan sama sekali dilarang keluar kecuali untuk makan atau ke kamar mandi. Aku harus mengerjakan semua pekerjaan rumah yang diberikan guru dan Papa kemudian akan memeriksanya. Jika aku tidak mengerjakannya, aku harus bersiap dengan semburan Papa selanjutnya.

Aku benar-benar seperti tahanan. Dan Papa mulai mengancam untuk memasukkanku ke sekolah berasrama. Atau pesantren. Atau akademi militer. Atau kalau perlu penjara anak-anak. Pokoknya tempat di mana aku bisa diatur dengan keras. Sepertinya di mata Papa, aku benar-benar rusak.

Tentu saja, aku juga berusaha mengambil hati Papa. Aku berusaha menjadi anak manis dan baik. Setiap hari aku bangun pagi, bersiap dengan seragam sekolah sebelum pukul enam pagi, mencium tangan Papa dan Mama untuk kemudian pergi sekolah ketika sopir Papa datang. Aku masuk ke dalam kamar setiap kali tiba di rumah, dan hanya keluar jika Papa atau Mama memanggilku. Begitu terus. Hingga Papa dan Mama yakin kalau aku benar-benar sudah bertobat.

Dan setelah hukuman selama berhari-hari itu, akhirnya suatu hari Papa memanggilku ke ruang kerjanya dan memberikan kunci mobilku. Yang artinya, aku bebas.

Maka, hari ini aku pun merayakan kebebasanku dengan teman-temanku. Di sekolah? Yang benar saja! Jangan pernah berharap menemukanku di sekolah!

Cheers!” Kami berseru.

Suasana Kemang memberikan atmosfer tersendiri bagi kami. Lebih ”cozy”, cocok untuk meredakan kesuntukan kami dari suasana di Rawamangun. Pastinya, tempat ini jauh dari sekolah. Dijamin, tidak ada guru yang terpikir untuk melakukan razia hingga kemari. Dan rasanya juga tidak akan ada yang menyangka kalau kami jalan-jalan sejauh ini.

Kami hari ini sepakat untuk membolos bersama. Aku yang mengajak mereka, karena aku benar-benar kangen gila-gilaan dengan mereka lagi. Dan untuk melancarkan aksi hari ini, dari rumah kami sudah membawa pakaian ganti dan kini tidak akan ada yang curiga kalau kami adalah murid SMA yang seharusnya berada di sekolah.

Hari ini, kami bebas. Bebas dari pelajaran sekolah, bebas dari guru, bebas dari razia, bebas merokok, bebas minum juga. Asalkan kami tiba di rumah sebelum orang tua kami pulang, kami rasa kami akan baik-baik saja. Orang tua kami semua sibuk bekerja dari pagi sampai sore, bahkan malam. Jadi, tak ada salahnya jika kami juga mengikuti jam kerja mereka, kan?

“Stev,” panggil Gal.

“Ya?” jawabku.

“Kok lu bisa ketahuan, sih?” Gal mengisap rokoknya.

Aku hanya mengangkat bahu. “Apes aja kali.” Aku tertawa.

Veby menatapku sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. “Masalahnya.” Ia mengisap rokoknya. “Kok kita nggak ketahuan?” Ia bertanya.

Aku lagi-lagi hanya mengangkat bahu, lalu mengembuskan asap rokok. “Gue nggak tahu,” kataku cuek.

“Ada yang ngadu,” ujar Veby.

Aku tertawa. “Mungkin.”

“Temen sebangku lu, bukan?” tebak Gal.

Aku kembali mengangkat bahu. “Masak, sih?”

“Tapi elunya juga terlalu menyolok, sih. Kelakuan elu nggak kayak anak A1,” tambah Gal.

“Iya.” Aku mengaku. “Gue memang nggak pantas jadi anak A1, yang selalu rajin belajar, tukang rebutan ranking papan atas, rata-rata nilai nggak pernah kurang dari delapan. Yah, lu semua tahu lah anak-anak macam apa mereka.” Aku kembali tertawa.

Gal memandangku dan ikut tertawa.

“Kalo anak A3, sih, dari dulu udah dapat cap macam-macam.” Veby tertawa. “Dibilang anak buangan, anak bandel, anak bodoh, anak-anak dengan masa depan suram, anak-anak yang bisanya cuma bikin malu orang tua.” Veby menginventarisir.

“Lu kenapa, sih, nggak masuk A3 aja?” tanya Olivia.

“Susah,” jawabku pendek.

“Susah?” Ketiga temanku bingung.

“Iya. Susah!” Aku mematikan rokokku, dan mengambil sebatang lagi.

“Banyak hafalannya. Kan, gue malas menghafal. Enakan jurusan A1, hafalannya sedikit, paling rumus doang,” ujarku.

“Jadi,” sambungku, “kalo bikin contekan gampang!” Aku tertawa.

Huuuu….

Teman-temanku langsung menimpukku dengan gulungan tissue.

Kami hari ini bersenang-senang seharian. Jalan-jalan keliling kota, dan menikmati Jakarta yang seakan tidak pernah beristirahat. Sesekali kami mampir ke mal meski yang kami lakukan paling hanya window shopping, kemudian makan di fast food, dan akhirnya menonton film.

Hari ini jajahan kami adalah wilayah selatan. Katanya, sih, di selatan ini banyak tempat nongkrong yang asyik. Kami menyusuri Kemang, Blok M, Senayan, hingga seterusnya sampai ke utara, melewati gedung-gedung pencakar langit yang menjadi impian para perantau pengejar kesuksesan ibukota yang niscaya akan terbelalak kaget jika melihat deretan borok yang tersembunyi di belakangnya. Dan kemudian kembali berbelok ke arah timur untuk menuju kompleks sekolah kami di Rawamangun.

Lihat selengkapnya