Hari ini aku kembali bersekolah. Seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya. Namun, perasaanku sedikit tidak enak. Bukan karena aku dihukum lagi, ya … oh … sungguh, aku tidak sedang dihukum, kok. Namun, aku sedikit merasa bersalah terhadap Mama. Aku memang sering berseteru dengan Mama. Mmm … tidak sering juga, sih (lebih sering dengan Papa sebenarnya). Namun, aku tidak pernah melihat mata Mama berkaca-kaca seperti kemarin.
Semalam, Mama hanya menyuruhku untuk mengurung diri di kamar. Aku tidak diizinkan untuk keluar kamar (kecuali ke kamar mandi) hingga pagi hari. Hukuman biasa saja, kok. Aku juga tidak keberatan. Dan hari ini aku masih diizinkan untuk membawa mobil ke sekolah. Namun, tatapan mata Mama sangat menggangguku.
“Pagi, Stev.” Astri tersenyum dan menyapaku.
“Pagi,” jawabku singkat.
“Mmm….” Suara Astri terdengar menggantung. “Stev….” Ia memanggilku lagi.
“Ya?”
“Kemarin nyokap lu ke sekolah.” Ia memberi tahu.
Aku terbelalak.
“Tapi elunya nggak ada….” Suara Astri terdengar seperti merasa bersalah.
“Terus, lu bilang apa?” cecarku.
“Ya….” Nada suaranya terdengar ragu. “Gue bilang kalo elu nggak masuk.”
Aku memelotot.
“Sori, Stev,” ujar Astri lagi.
Aku sekarang paham. Rupanya Mama datang ke sekolah untuk mengecek keberadaanku.
“Nyokap lu sering ke sekolah. Kata Bu Fransiska, sih.” Astri kembali memberikan informasi.
Aku semakin terkejut. “Kapan aja itu?”
“Beberapa kali,” jelas Astri.
Oh … what….?
“Kok gue nggak tahu, ya?” Aku bingung.
“Karena pas elu nggak ada,” terang Astri.
“Kenapa nyokap gue malah datang pas gue nggak ada?” Aku semakin bingung.
“Eh, tunggu dulu! Jangan-jangan elu yang ngaduin gue?” Aku langsung menembak Astri.
Astri tampak gelagapan. Raut mukanya menyiratkan rasa bersalah, sekaligus kesal.
“Guru BK tahu-tahu datang, nanyain elu, katanya nyokap pengen ketemu elu dan elu nggak ada. Terus gue harus bilang apa?” Nada suara Astri terdengar emosi.
“Ya … elu bilang, kek, kalo gue di kantin, di perpus, di luar, atau di mana, gitu?” Aku kesal “Elu bikin gue kena masalah, tahu!” Aku emosi.
“Justru elu yang nyeret gue ke dalam masalah!” Astri tidak mau kalah.
“Elu nggak solider,” sungutku.
“Solider?” Astri terbelalak. “Kalo elu mau solider, pindah saja ke A3. Kelakuan elu itu lebih mirip anak A3. Ya sekalian aja lu jadi anak A3, belajar santai, main melulu, nggak usah serius, nggak usah sekolah!” Nada suara Astri semakin menyiratkan kekesalan.
Aku menatapnya. Sungguh. Aku tidak suka dengan kata-kata Astri.
“Udah lah! Gue males! Terserah elu mau ngadu apa ke guru!” Aku mengambil tasku dan keluar. Aku hari ini benar-benar tidak berminat dengan sekolah!
…
Gedung olahraga di samping sekolah pagi ini terasa sepi. Tentu saja. Karena anak-anak yang biasa nongkrong di sini semuanya sedang belajar di kelas. Kecuali aku sepertinya. Karena aku tidak melihat orang berseragam SMA selain diriku.
Aku duduk di sebuah bangku panjang terbuat dari batu sambil menggoreskan pensil ke dalam kertas demi kertas dalam buku tulis di depanku. Tangan kananku sibuk memainkan pensil sementara tangan kiriku menjepit sebatang rokok. Kertas pada buku yang kupegang sudah penuh dengan coretan tidak keruan. Mulai dari rumah, mobil, pesawat, kepala monster, Sufa dan Jiwa, karakter kartun, aneka binatang seperti bebek, kucing, burung, gajah, pantat gajah….