Aku sudah cerita belum? Sekolahku ini memiliki kebiasaan unik untuk upacara bendera. Umumnya, sekolah menggelar upacara bendera setiap hari Senin. Namun, sekolahku hanya menyelenggarakan upacara bendera setiap tanggal 17 setiap bulannya. Sebulan sekali, tentu saja. Sudah seperti kantor pemerintahan saja, ya? Dan untuk murid pemalas sepertiku, tentu ini sangat menggembirakan.
Sekadar informasi, ketika SMP dulu, aku sering terlambat datang upacara bendera. Akibatnya, aku sering di-setrap di depan lapangan upacara. Lama-lama, aku lebih memilih untuk terlambat sama sekali dan baru datang ketika upacara sudah selesai. Toh, daftar kehadiran upacara tidak pernah dicatat dan aku bisa menyelinap masuk ke dalam kelas tanpa ketahuan guru.
Jadi, ketika di SMA ternyata upacara bendera hanya diselenggarakan sebulan sekali, jelas ini kabar baik buatku. Setidaknya, aku hanya akan sebulan sekali berjemur di bawah matahari pagi.
Hanya saja, pengalaman pertamaku untuk urusan upacara bendera justru sangat menyebalkan. Seperti yang pernah aku ceritakan, pada hari pertama aku datang terlambat di pembukaan kegiatan Penataran P4. Belum apa-apa, aku sudah di-setrap. Jadi, selanjutnya aku memutuskan untuk tidak akan pernah lagi menghadiri upacara bendera. Jika tanggal 17 tiba, aku punya dua pilihan: datang terlambat ke sekolah, atau datang ke sekolah seperti biasa untuk kemudian bersembunyi entah di kantin atau di gelanggang olahraga samping sekolah.
Seperti pada hari ini. Alih-alih mengikuti upacara, aku lebih memilih untuk mengungsi ke gedung olahraga samping sekolah. Dan hari ini, teman membolosku adalah Dika. Olivia tidak berani membolos. Veby entah berada di mana. Dan sudah beberapa hari aku tidak bertemu Gal. Kalau Dika, sih, kapan pun siap sedia.
Ada beberapa murid selain aku yang juga membandel tidak mau upacara. Beberapa lainnya adalah siswa sekolah di sekitar sini yang juga membolos. Beberapa tampak mengobrol dan beberapa lainnya tampak mojok. Aku sendiri memilih tempat agak tersembunyi agar bisa bebas berduaan dengan Dika.
Aku dan Dika asyik mengobrol di sisi belakang gedung olahraga yang memang jarang disinggahi murid-murid yang hobi nongkrong. Kami mengobrol santai dan sesekali tertawa—dan merokok.
Upacara bendera berlangsung selama kurang lebih 45 menit—setara satu jam pelajaran. Maka, ketika jarum jam di tanganku sudah hampir menunjukkan pukul delapan pagi, aku bermaksud untuk kembali ke sekolah. Biasanya ada jeda antara lima hingga lima belas menit sebelum dimulai pelajaran pertama. Entah apakah Dika akan kembali juga ke sekolah atau tidak.
Aku baru saja mau melangkah ketika tiba-tiba terjadi keributan. Terdengar suara beberapa orang yang seperti memerintah yang kemudian disusul dengan suara langkah kaki anak-anak yang berlarian panik.
Dika langsung menarik tanganku dan mendorongku hingga kembali ke balik tembok gedung olahraga.
“Masuk, Vie!” Dika mendorongku untuk masuk ke lorong kamar mandi. Masalahnya, itu kamar mandi laki-laki!
“Siapa di sana?”
Aku mendengar suara salah seorang guru berteriak. Aku pun tidak punya pilihan selain memilih salah satu bilik kamar mandi untuk bersembunyi.
“Kamu sedang apa di sana?”
“Saya nggak ngapa-ngapain, Pak.”
“Ayo! Sini kamu!”
“Tolong periksa kamar mandinya!”
“Ada siapa lagi selain kamu?”
“Nggak ada, Pak. Saya sendirian.” Sayup-sayup suara Dika terdengar.
“Kamu dari SMA mana?”
“Saya dari SMA situ, Pak…” Suara Dika terdengar semakin menjauh.
Aku menahan napas sebisaku. Aku benar-benar tegang. Aku mendengar suara langkah kaki memasuki kamar mandi. Mungkin itu salah satu guru yang memeriksa kalau-kalau ada murid yang bersembunyi di sana.
“Kelihatannya tidak ada siapa-siapa,” ujar sebuah suara.
Kemudian langkah-langkah kaki itu terdengar menjauh.
Aku bernapas lega. Dan setelah aku yakin tidak ada lagi orang di kamar mandi, aku segera membuka pintu.
Benar! Sudah tidak ada lagi orang di lorong.
Aku memberanikan diri keluar menyusuri lorong. Dika sudah tidak terdengar lagi suaranya. Mungkin ia sudah dibawa.
Aku segera keluar dari kamar mandi. Dan langsung terkesiap karena ternyata ada salah seorang guru di depanku. Ia berdiri membelakangiku. Aku langsung berpikir untuk kembali ke kamar mandi. Namun, siapa sangka jika guru tersebut lebih dulu membalik badan.
“Kamu sedang apa di sana?” Ia membentakku.
Aku gelagapan dan tidak bisa menjawab.