Tok … tok….
“Evie!”
Aku bangkit ketika mendengar pintu kamarku diketuk. Dengan malas-malasan aku membuka pintu.
“Kamu baru bangun?” Papa langsung menyemburku begitu aku membuka pintu.
“Tidak, Pa,” jawabku dengan kepala menunduk.
“Papa nggak suka kalau kamu malas-malasan. Anak gadis, kok, bangun siang?” Papa masih belum puas menyemburku.
Aku menunduk.
“Kamu mandi, lalu turun. Sekarang. Mengerti kamu?” perintah Papa.
“Mengerti, Pa,” jawabku dengan kepala masih menunduk.
“Papa tunggu di bawah. Mandinya jangan kelamaan. Papa dan Mama mau berangkat.”
“Baik, Pa,” jawabku singkat.
Aku pun langsung menyambar handuk dan pakaian ganti, lalu melesat ke kamar mandi. Padahal masih pukul setengah enam pagi, dan aku juga tidak ke mana-mana. Namun, jika Papa sudah mengeluarkan perintah, aku harus melaksanakannya saat itu juga.
Ini adalah hari kedua aku menjadi “tahanan rumah”. Sikap Papa sudah melunak dibanding kemarin.
Kemarin, satu hari setelah insiden upacara bendera, Papa dan Mama datang ke sekolah untuk menerima surat pemberitahuan skorsing yang dijatuhkan kepadaku. Papa marah besar. Begitu murkanya Papa sehingga aku tidak memiliki kesempatan untuk membela diri. Aku pun pasrah ketika Papa menyeretku ke mobil dan mengantarkan aku pulang, kemudian mengurungku di kamar.
Hukuman yang aku terima saat ini lebih berat dibandingkan dengan beberapa waktu lalu ketika aku ketahuan membolos. Aku benar-benar dikurung di rumah dalam arti sebenarnya karena aku sama sekali tidak boleh keluar selama masa skorsing. Semua fasilitasku disita, mulai dari kunci mobil hingga pager. Papa juga mengunci telepon sehingga aku tidak bisa menghubungi siapa pun. Bukan hanya itu. Bahkan telepon dari teman-temanku yang masuk pun dipindai oleh Papa. Jangan harap aku menerima telepon dari Dika. Bahkan, Gal pun tidak bisa menghubungiku.
Aku segera turun begitu selesai mandi. Papa dan Mama sudah bersiap berangkat kerja. Samantha juga sudah siap dengan seragam sekolahnya. Beginilah kesibukan keluargaku setiap pagi. Sebelum pukul enam, semua sudah harus bersiap dan harus keluar rumah sebelum pukul enam pagi, kecuali kalau ingin terjebak macet. Rutinitas menjemukan sekaligus melelahkan. Aku sebenarnya senang dengan hukuman skorsing selama satu minggu ini—karena ini artinya tambahan liburan buatku. Namun, karena Papa murka, maka liburan ini tak ubahnya hukuman penjara bagiku.
“Nah, begitu, dong!” ujar Papa ketika melihatku yang sudah rapi turun dari tangga.
Aku mencoba melempar senyum.
“Papa pergi dulu, ya.” Papa menyodorkan tangannya. Aku langsung menyambutnya dan menciumnya.
“Kamu jangan macam-macam selama di rumah.” Papa mengingatkan.
“Iya, Pa.”
“Papa serius!”
“Iya, Pa,” jawabku sekali lagi.
“Ayo, Sam,” ajak Papa sembari berjalan keluar.
Samantha mengikuti langkah Papa dari belakang. Jalur sekolah Samantha searah dengan jalur Papa. Setiap hari Samantha menumpang mobil Papa.
Aku melirik Mama yang masih menghabiskan sarapannya di meja makan.
“Sarapan, Vie?” tawar Mama.
“Evie belum lapar, Ma,” jawabku.
Mama menatapku. “Duduk sini, Vie.” Mama menarik sebuah kursi di sampingnya.
Aku lalu duduk di samping Mama. Namun, perutku sama sekali tidak berselera.
“Kamu nggak pernah cerita kalau kamu punya pacar.” Mama membuka percakapan denganku.
“Memangnya Evie harus cerita?” Aku malah bertanya—retoris.
Mama kembali menatapku.
“Mama harus tahu dengan siapa saja kamu bergaul.” Ucapan Mama terdengar tegas.
“Teman-teman Evie semuanya baik, kok,” ujarku.
“Baik?” Ganti Mama yang bertanya—retoris juga.