Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #10

AKU INGIN BERUBAH

Hari-hariku di rumah selama menjalani masa skorsing akhirnya banyak kuhabiskan bersama Bi Darmi. Aku sering membantunya membereskan rumah. Aku juga mulai membereskan kamarku sendiri untuk mengurangi beban kerja Bi Darmi. Kadang aku juga merecokinya di dapur. Merecoki, karena aku benar-benar bodoh untuk urusan dapur. Misalnya saja, aku tidak tahu cara membedakan jahe dan lengkuas. Dan aku pernah salah mengambil gula merah yang aku kira terasi.

Untunglah Bi Darmi begitu sabar mengajariku. Setidaknya, aku mulai sedikit-sedikit tahu cara memasak. Minimal, aku tahu cara menggoreng telur mata sapi, durasi yang tepat untuk merebus telur baik setengah matang maupun matang penuh, membuat omlet isi kornet, atau meracik mi instan yang tidak hanya berisi mi dan kuah berbumbu, tapi juga telur, cabai, bawang, bakso, sosis, atau bahkan keju.

Aku juga mulai mencuci bajuku sendiri, terutama sekali pakaian dalamku. Kalau dipikir-pikir, aku pun merasa geli jika barang yang begitu pribadi seperti itu sampai dipegang-pegang orang lain.

Hari ini, aku mencoba bangun lebih pagi dari biasanya—sebelum subuh. Karena aku ingin tahu bagaimana rasanya menyiapkan segala keperluan untuk kegiatan pagi penghuni rumah ini.

“Non Evie sudah bangun?” sapa Bi Darmi yang sedang membersihkan beras untuk ditanak.

Aku tersenyum. “Ada yang bisa dibantu, Bi?” tawarku.

“Nggak usah, Non,” jawab Bi Darmi sambil serius dengan berasnya. “Bibi udah biasa, kok. Ini juga cuma sebentar, gampang,” lanjutnya.

Aku memandang Bi Darmi yang tengah berkutat dengan dapur. Iya juga, sih, tidak terlalu banyak yang dikerjakan. Toh, aku akhirnya mengambil inisiatif juga untuk menyiapkan meja makan. Piring dan gelas aku tata rapi.

“Aduh, Non Evie….” Suara Bi Darmi kembali terdengar memanggilku.

Aku menoleh sekilas. Aku tengah meletakkan piring, gelas, sendok, garpu, dan pisau pada tempatnya di depan setiap kursi makan.

“Ini, kan, kerjaan Bibi,” ujar Bi Darmi lagi.

“Nggak apa-apa, Bi,” ujarku.

Akhirnya Bi Darmi hanya menatapku.

“Terima kasih, ya, Non,” ujar Bi Darmi.

“Sama-sama, Bi.” Aku tersenyum.

“Non Evie ternyata baik juga,” ujar Bi Darmi lagi.

“Memangnya selama ini saya nggak baik?” tanyaku.

Lihat selengkapnya