Hari ini aku kembali ke sekolah setelah menjalani masa skorsing. Aku masuk kelas sambil diiringi tatapan teman-temanku. Ah, biarkan saja! Pasti mereka sudah mendengar kasusnya. Dari mulut para guru yang mengajar dan gosip-gosip yang menyebar.
Aku tidak peduli dengan pandangan mereka. Terserah mereka mau menilai diriku seperti apa. Aku tidak peduli. Aku tidak perlu menjelaskannya panjang lebar karena mereka juga pasti tidak akan percaya.
“Hai.” Aku menyapa Astri.
Astri menatapku. “Hai, Stevie.” Ia balas menyapa.
Aku langsung duduk dan tidak memedulikannya. Biar saja. Bukankah ia juga menjadi salah satu penyebab masalahku?
Jam yang terpasang di dinding kelas masih menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit. Ini benar-benar rekor!
Aku menyapu pandangan ke seisi kelas. Beberapa pasang mata tampak menatapku—sebagian langsung memalingkan wajahnya ketika aku balas menatap. Sepertinya gosip sudah beredar luas. Dengan kesalahpahaman yang aku malas menjelaskannya.
Ah ... ya sudahlah!
Aku segera mengeluarkan walkman dari dalam tas, memasang earphone, dan memutar kaset rekaman pribadiku yang selalu berada di dalamnya. Pearl Jam dan Faith No More rasanya cukup untuk mengalihkan perhatianku dari tatapan seisi kelas.
Hari ini aku mencoba mengikuti pelajaran dengan serius. Tidak lucu, kan, jika aku yang baru saja bebas dari hukuman belum apa-apa sudah mendapat teguran lagi? Meski aku sadar beberapa guru ada yang menyindir. Namun, aku tidak peduli. Biar saja. Memangnya orang lain tidak pernah melakukan kesalahan?
Beberapa guru sepertinya mencoba mengerjaiku. Mereka menyuruhku ke depan kelas untuk menyelesaikan soal di papan tulis. Untungnya, aku sebelumnya sudah belajar selama di rumah. Soal-soal itu bisa dengan mudah aku selesaikan. Maaf saja, aku juga tidak bodoh-bodoh amat. Hanya malas.
Pada saat jam istirahat, aku memilih untuk berdiam di kelas saja. Aku khawatir tergoda untuk tidak kembali ke kelas. Aku belum berani masuk kelas terlambat. Namun, ketika jam pelajaran berakhir pukul 12.15, aku tidak menyia-nyiakan waktu untuk melesat keluar dan bertemu dengan teman-temanku.
“Stevie!” Olivia dengan hebohnya menghambur dan memelukku seperti adegan di film-film.
“Ke mana aja, lu? Kangen banget kita.” Olivia masih memelukku dengan gayanya yang over acting.
Aku tak bisa menahan tawa. Begitu juga Gal dan Veby.
“Lu kira di mana? Ya di rumahlah!” jawabku.
“Lu diapain aja?” tanya Gal. Ia meraih tanganku dan memelukku juga.
“Dipingit,” jawabku asal. Aku lalu mengalihkan perhatianku ke Veby dan memeluknya juga.
“Emangnya lu mau kawin?” timpal Veby.
Aku tertawa.