Akhirnya hari ini aku memilih pulang dan tidak mengikuti pengayaan. Gal yang menyetir mobilku. Lalu lintas dari Rawamangun menuju Pondok Kelapa siang ini ramai lancar. Mungkin karena belum masuk jam pulang kerja. Gal menyetir Starlet merahku dengan hati-hati di antara kendaraan yang merayap.
“Gal,” panggilku.
“Ya?” Gal tetap berkonsentrasi dengan jalanan.
“Ntar lu ngeinep di rumah gue, ya?” pintaku.
Gal menoleh.
“Gue lagi butuh temen….” Mataku menerawang memandang keluar.
“Iya.” Gal tersenyum. “Pastilah. Apa, sih, yang enggak buat elu?”
Kami tiba di rumah sebelum azan asar berkumandang. Samantha sudah ada di rumah dan tidur-tiduran di sofa yang kemarin sempat kujajah ketika menjalani masa hukuman.
“Mbak Evie udah pulang? Nggak pengayaan, Mbak?” tanya Sam.
Aku menggeleng. “Gue nggak enak badan,” jawabku singkat. Aku tidak suka ditanya adikku. Memangnya siapa dia?
“Hai, Sam,” sapa Gal.
“Hai, Mbak Galuh,” balas Sam ramah. Galuh beberapa kali memang pernah menginap di rumahku. Wajar jika kemudian Sam mengenalnya dan kemudian bersikap sok akrab dengannya.
“Gue ke atas.” Aku menunjuk ke atas tempat kamarku.
Sam tidak menjawab. Aku juga tidak peduli.
Aku berjalan ke lantai atas diikuti Gal. Dan begitu masuk kamar, aku langsung merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Gal ikut berbaring di sampingku. Tempat tidurku memang lebar.
Aku menutup mataku dengan lengan. Gal menggenggam tanganku. Kami tidak saling berbicara, dan Gal juga tidak mengajakku bicara. Aku memang selalu seperti ini jika menghadapi permasalahan berat—diam, dan kadang menangis. Lebih enak jika ada yang menemani. Gal adalah orang yang paling mengerti kebiasaanku. Ia biasa berada di sampingku hanya untuk menemaniku yang ingin diam tanpa berbicara sama sekali.
Kami saling diam hingga akhirnya ketiduran, dan terbangun ketika terdengar suara ketukan di kamarku.
“Vie, udah magrib, nih. Bangun, dong. Jangan tidur, nggak bagus.” Suara Mama terdengar dari luar.
Aku pun bangun, dan kemudian membangunkan Gal. Kami lalu ke kamar mandi untuk mengambil air wudu dan salat magrib bergantian. Setelah itu, kami berdua turun untuk makan malam.
“Eh, Galuh. Lama nggak main ke sini,” sapa Mama.
“Malam, Tante.” Gal memberi salam, lalu mencium tangan Mama.
“Apa kabar? Kamu sehat?”
“Alhamdulillah, Tante,” jawab Gal basa-basi.
“Kamu nginep di sini, kan?” tanya Mama.
“Iya, Tante,” jawab Gal.
“Temenin Evie belajar, ya? Dia udah ketinggalan seminggu,” pinta Mama.
“Pasti, Tante,” jawab Gal.
Aku tersenyum. Sepertinya Mama lupa kalau aku dan Gal beda jurusan. Aku mencium tangan Mama. Mama mengacak rambutku.