Gal benar. Aku hanya harus bersabar hingga masa SMA usai. Tinggal beberapa bulan lagi. Bahkan semester terakhir ini tidak genap enam bulan karena musim ujian sudah dimulai pada bulan April hingga Mei. Setelah itu, aku akan mendapatkan banyak libur. Sekalipun masa belajar belum berakhir, aku tidak perlu datang ke sekolah jika semua ujian sudah kulalui, kan? Memang, sih, masih ada UMPTN. Ada kemungkinan juga kami akan dipersiapkan untuk menghadapinya. Namun, aku tidak terlalu peduli. Aku tidak terlalu berminat mengikuti UMPTN. Bagiku, yang penting aku keluar dari rumah.
Boleh, kan? Usiaku sudah dewasa. Saat ini pun sebenarnya aku sudah dewasa. Ketika lulus nanti, aku akan menjadi orang dewasa penuh karena aku sudah tidak lagi terikat dengan peraturan sekolah, dan tidak perlu lagi mengikuti peraturan apa pun. Akan kutunjukkan kepada semua orang, bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang bisa mengatur hidupku. Tidak ada yang bisa memaksaku untuk sekolah, kuliah, mengambil jurusan favorit, pun memilihkan orang yang pantas menjadi pacarku. Itu semua adalah hidupku dan hanya aku yang bisa menentukannya. Tidak orang lain, termasuk orang tuaku.
Aku masih sakit hati dengan kejadian yang membuatku berpisah dengan Dika. Aku tidak terima ketika orang-orang dewasa berlagak paling tahu yang baik untukku, termasuk urusan asmara. Apa hak mereka melarangku berpacaran dengan Dika? Kejadian itu pun hanya kesalahpahaman belaka. Namun, para orang dewasa pemegang otoritas yang selalu merasa paling benar itu tidak ada yang mau mendengar penjelasanku. Mereka hanya memikirkan aib dan rasa malu karena ada muridnya yang—dituduh—melakukan tindakan asusila. Dan untuk menghilangkan tuduhan itu, satu-satunya cara adalah dengan memisahkan kami yang sebenarnya tidak bersalah.
Sungguh, aku benar-benar sakit hati dan sangat marah! Namun, lihat saja! Aku akan membuktikan bahwa aku tidak bisa didikte. Aku ingat ucapan Dika bahwa hidup ini hanyalah untuk orang-orang yang bisa mengikuti alur. Maka, aku akan membuktikan bahwa aku pun bisa hidup juga meski tidak mengikuti alur yang mereka tentukan.
Beberapa bulan terakhir menjelang berakhirnya tahun ajaran, aku menahan segala macam tingkahku. Aku pelan-pelan mencoba berubah menjadi anak manis dan penurut. Bahkan, aku mulai mengikuti pengayaan dan tidak pernah sekalipun absen. Aku sering berada di kelas dan sepertinya aku berhasil membuat para guru terkesan. Mereka mulai percaya bahwa aku benar-benar sudah berubah.
Lalu tiba hari ujian. Dan aku bisa melewatinya. Kalau hanya sekedar lulus, sih, mudah. Yang penting NEM mencukupi. Tidak usah terlalu tinggi juga karena tidak ada gunanya. Iya, kan? Karena persyaratan untuk bisa diterima di perguruan tinggi negeri adalah lulus UMPTN. NEM seadanya saja asalkan bisa lulus.
Aku senang ketika akhirnya pengumuman kelulusan itu tiba. Aku merayakannya dengan mencoret-coret baju seragam, kemudian pergi menginap di sebuah vila di Puncak bersama sahabat-sahabatku. Kami tidak perlu kucing-kucingan lagi seperti ketika dulu kami rajin membolos.
Hari berganti hari. Aku mulai menikmati sekolah dengan santai karena aku memang sudah bukan warga sekolah ini lagi. Aku sudah tidak terikat lagi dengan segala peraturan di sini. Aku bahkan sudah tidak perlu mengenakan seragam lagi.
Satu alasan kenapa aku masih tetap pergi ke sekolah, yaitu untuk mengikuti persiapan UMPTN. Sekolah memang memfasilitasi siswa yang ingin khusus mendalami soal-soal untuk UMPTN. Pengajarnya adalah alumni-alumni sekolah ini yang berhasil diterima di PTN. Mereka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar di sela-sela kuliah. Tentu saja masih mereka masih muda. Proses belajar menjadi lebih santai karena mereka memposisikan diri sebagai kakak. Aku sendiri sebenarnya juga tidak terlalu serius mengikuti materi. Aku hanya ingin punya alasan untuk pergi dari rumah.
…
“Mau ambil jurusan apa, Stev?” Gal melirik formulir UMPTN di depan mejaku.