Masih pukul setengah enam pagi. Namun, aku sudah bersiap di depan cermin. Kemeja putih lengan panjang dan celana stretch berwarna krem, aku tersenyum melihat bayanganku di cermin. Kasual sedikit resmi.
“Sudah siap, Sayang?” Papa mengintipku dari luar. Pintu kamarku memang terbuka.
“Sebentar lagi, Pa,” jawabku.
“Benar tidak perlu Papa antar?” tawar Papa sekaligus memastikan.
“Evie berangkat sendiri saja, Pa,” jawabku dengan mata yang masih menatap cermin.
“Nanti kena macet, lho. Ujiannya di Senen, kan? Itu daerah macet, lho. Kalau kena macet, bisa-bisa kamu malah hilang konsentrasi di tempat ujian nanti.” Nada suara Papa menyiratkan sedikit kekhawatiran.
Aku menoleh dan tersenyum. “Nggak, kok, Pa. Ini, kan, masih pagi,” jawabku lagi.
Papa masuk ke dalam kamar dan berdiri di sampingku. Kami berdua kini sama-sama menghadap cermin.
“Nggak nyangka, ya? Anak Papa sebentar lagi jadi mahasiswa.” Papa tersenyum dan merangkulku.
Aku kembali tersenyum.
“Dan satu lagi anak Papa yang akan pergi dari rumah. Setelah Sean, sekarang kamu,” ujar Papa.
“Padahal Sean hanya kuliah di Depok. Namun, ia memilih tinggal di luar. Sekarang kamu memilih kuliah yang lebih jauh lagi dari rumah,” lanjut Papa. Ada senyum getir pada semburat wajahnya yang sudah berkerut.
Aku menunduk.
“Ayo sarapan,” ajak Papa. “Papa tunggu di bawah, ya?” Papa berkata sambil melangkah keluar.
“Iya, Pa,” jawabku. Mataku masih menatap cermin.
Hari ini aku akan mengikuti UMPTN. UMPTN sendiri berlangsung dua hari hingga besok. Dan … aku masih tidak yakin. Meski demkian, aku pasti akan keluar dari rumah. Apapun hasilnya nanti.
Setelah mengambil tas dan kunci mobil, aku segera keluar dan turun ke ruang makan.
“Pagi, Ma,” ucapku sambil mencium tangan Mama, lalu duduk di sampingnya.