“Coba cari di sini.” Mama memberikan lembaran-lembaran surat kabar kepadaku. Hari ini adalah hari pengumuman UMPTN. Pengumuman hasil ujian memang dimuat di beberapa surat kabar dengan memakan beberapa lembar khusus berisi lembaran-lembaran daftar nama.
Aku mencari daftar namaku dengan malas-malasan. Karena aku tahu persis kalau namaku tidak akan ada dalam daftar.
“Aku nggak nemu, Mbak,” ujar Samantha yang ikut membantu mencari.
Aku menoleh dan menatap Samantha—juga Mama—yang begitu gigih mencari namaku di antara ribuan nama yang tertera pada surat kabar. Aku diam-diam merasa bersalah kepada mereka—terutama Mama.
“Nggak ada, Vie.” Raut wajah Mama jelas menunjukkan kekecewaan. Melihatnya, aku semakin merasa bersalah.
“Wah, kalo nggak lulus gimana, dong, Mbak?” Nada suara Samantha terdengar khawatir.
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa. Bukan rezeki Evie berarti.” Aku mencoba menghibur mereka—padahal harusnya aku yang dihibur!
Mama mendekati dan merangkulku. “Nggak apa-apa, Vie. Tahun depan coba lagi, ya?”
Aku tersenyum. Aku tidak terlalu memikirkan hasil ujian karena hari ini aku ada janji dengan teman-temanku di sekolah. Maka, setelah aku memastikan bahwa namaku tidak ada dalam daftar, aku pun segera berangkat ke sekolah.
Suasana sekolah ramai dengan para alumni baru lulus yang berkumpul untuk saling mengabarkan hasil UMPTN. Mereka saling bersalaman dan bertanya basa-basi. Beberapa informasi aku dapatkan. Misalnya, Astri berhasil diterima di jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia seperti yang diimpikannya. Namun, aku tidak terlalu tertarik dengan Astri. Aku lebih tertarik dengan hasil yang didapatkan sahabat-sahabatku.
“Gal!” Aku melambaikan tangan ketika melihat Gal.
“Stevie!” Ia berteriak girang, lalu menghambur ke arahku. “Gue akhirnya bisa juga kabur ke Yogya!” Ia memelukku. “Gue diterima di UGM, jurusan komunikasi!”
“Wah, selamat!” Aku menyalaminya dan mengucapkan selamat dengan tulus.
“Gal! Stevie!” Olivia melambaikan tangannya, lalu menghampiri kami.
“Lu diterima di mana?” tanya Gal.
“UI, Fakultas Sastra!” Nada suara Olivia terdengar meninggi seolah menyombongkan diri.
“Keren!” puji Gal. “Jurusan apa?”
“Sastra Jawa,” jawab Olivia.
“Sastra Jawa?” Gal mengernyitkan dahi.
“Gue baru tahu kalo elu tertarik budaya daerah.” Aku ikut heran.
Olivia mengangkat bahunya. “Nggak juga,” jawabnya cuek. “Gue pilih Sastra Jawa karena gue lihat passing grade-nya rendah. Bahkan berdasarkan daftar yang gue lihat di buku bimbel, peminat sastra Jawa masih di bawah kuotanya. Kasarnya, gue ngerjain soal UMPTN sambil merem juga pasti lulus!”
Hah? Kami melongo.
“Bodo amat! Yang penting gue kuliah! Yang penting UI! Kan, keren!” ujarnya girang.
“Yah, apa pun itu, pokoknya sukses, deh, buat elu!” Aku akhirnya memberikan selamat juga.
“Hai!” tiba-tiba Veby datang dan merangkulku. “Wah … selamat … selamat!” ujarnya. “Temen-temen gue ternyata orang-orang pinter semua!”
Kami pun tertawa. Ada kepuasan tersendiri ketika kami—orang-orang yang tidak dianggap di sekolah—ternyata berhasil juga menembus UMPTN. Kecuali aku sebenarnya.
“Lu diterima di mana, Veb?” tanya Gal.
Veby nyengir. “Nggak di mana-mana,” ujarnya enteng.
Aku menaikkan alisku.
“Bokap nyuruh gue kuliah di Australia,” sambungnya.
“Oalah!” Olivia terbelalak.
“Dari awal gue emang nggak terlalu serius sama UMPTN. Soalnya, bokap gue udah punya rencana buat mengirim gue kuliah ke Australia,” lanjut Veby.
“Well, good luck then,” ujarku.
“Eh, lu sendiri diterima di mana, Stev?” Gal seolah tersadar kalau ia belum mendengar kabar apapun dariku.
Aku tersenyum. Lalu mengangkat bahu, dan menggeleng.
“Nggak lulus?” Olivia melongo tidak percaya.
“Yah, belum rezeki gue!” Aku tertawa.