Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Sayup-sayup terdengar suara dari lantai bawah, pertanda bahwa pagi ini kesibukan sudah dimulai. Aku mendengarkan suara-suara tersebut dengan saksama, lalu menunggu dengan sabar hingga suara-suara itu menghilang. Aku sedang malas untuk turun dan bertemu penghuni rumah ini.
Aku memandang seisi kamar yang sudah rapi. Barang-barang yang aku perlukan sudah aku masukkan ke dalam tas ransel besar yang biasa kugunakan untuk traveling. Aku kembali memeriksa perlengkapanku. Dompet berisi uang dan kartu-kartu identitas, kemudian pager. Lengkap. Aku mengeluarkan kunci mobil dan meletakkannya di atas meja belajar. Untuk perjalanan kali ini, aku tidak mau naik mobil. Biar saja mobil ini aku “kembalikan” kepada Papa.
Aku keluar kamar begitu suara-suara di bawah sudah sepi. Kamar Sean masih tertutup rapat. Sepertinya ia belum bangun.
Aku memanggul ransel dan turun.
“Mbak Evie mau ke mana?”
Suara Sam membuatku menoleh. Aku melepaskan pegangan pintu dan membalik badan. Sam, adik perempuanku yang tahun ini akan lulus SMP, menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Elu, kan, udah dengar semalam Papa bilang apa.” Aku mencoba tersenyum.
“Mbak Evie jangan pergi.” Tiba-tiba Sam menghambur dan memelukku. Tangisnya pecah.
“Jangan pergi, Mbak,” ujarnya sekali lagi.
Air mataku tak urung tumpah juga. Aku balas memeluknya. Aku jarang berinteraksi dengan Sam. Ini adalah pertama kalinya aku benar-benar merasakan punya adik. Kami berpelukan beberapa saat, hingga aku pelan-pelan melepaskannya.
“Gue harus pergi.” Aku tetap pada niatku.