Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #18

ANAK HILANG

Kereta api Parahyangan memelankan lajunya ketika memasuki stasiun Bandung. Hari sudah sore ketika kereta akhirnya benar-benar berhenti.

Tadi aku cukup lama mengantre tiket. Rupanya hari ini banyak yang pergi ke Bandung. Mungkin karena bersamaan dengan masa pendaftaran ulang mahasiswa baru. Ada beberapa kampus di Bandung, memang, yang menjadi incaran anak muda Jakarta untuk menjadi tempat kuliah. Sebut saja ITB. Lalu ada juga Universitas Padjajaran dan Institut Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Untuk kampus swasta, ada Universitas Parahyangan dan Sekolah Tinggi Teknik TELKOM yang boleh dibilang favorit. Dan masih banyak lagi, sih.

Bandung memang merupakan salah satu kota tujuan untuk melanjutkan pendidikan. Atmosfer kotanya yang sejuk membuat suasana nyaman untuk belajar. Namun, aku ke kota ini tidak untuk belajar. Aku ingin mencoba hidup mandiri dengan caraku sendiri.

Stasiun Bandung sore ini tampak penuh dengan orang, terutama ketika para penumpang kereta api Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung mulai turun. Beberapa portir berebut menghampiri para penumpang yang turun untuk menawarkan jasanya. Beberapa juga menghampiriku, tetapi aku menolaknya. Barang bawaanku memang tidak banyak—hanya sebuah tas ransel besar. Aku kuat membawanya sendiri.

Aku duduk di salah satu bangku kosong stasiun sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di stasiun dan berpikir tentang tujuanku selanjutnya. Rombongan orang yang turun dari kereta semakin sedikit. Dan mendadak, pandangan mataku mulai kabur. Aku tiba-tiba teringat pada orang tuaku.

Aku memang pernah beberapa kali ke Bandung. Cukup sering, mungkin. Hanya saja, aku biasanya ke sini bersama keluargaku … bersama kedua orang tuaku. Aku merindukan masa-masa itu….

“Permisi….” Sebuah suara membuatku menoleh. Aku segera mengusap air mataku.

“Maaf,” ujar si pemilik suara, yang ternyata seorang gadis remaja sepantaran denganku. “Kalau mau ke arah Dago itu ke mana, ya?” Ia duduk di sampingku dengan wajah bingung.

“Dagonya sebelah mana, ya?” Aku juga bingung.

“Ya, pokoknya yang dekat dengan ITB,” ujarnya lagi. “Saya mau daftar ulang kuliah.” Gadis itu mengeluarkan sebuah map berisi lembaran-lembaran yang sepertinya merupakan syarat untuk mendaftar ulang.

Aku melirik berkas-berkas tersebut.

“Ada saudara?” tanyaku basa-basi.

Gadis itu menggeleng. “Kalau ada saudara saya nggak akan bingung, Mbak,” ujarnya.

Aku menatap gadis itu. Senasib, dong, kita?

“Saya mau cari kos-kosan. Enaknya cari di sekitar kampus. Dago, atau Dipati Ukur, atau Tubagus Ismail. Begitu, sih, kata orang-orang yang saya tanya,” terangnya.

“Mbak dari mana?” tanyaku.

“Dari Jakarta.”

“Sendirian?”

Gadis itu mengangguk, lalu kembali memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tas.

“Mbak.” Aku tiba-tiba mendapat ide. “Apa kita mau cari kos bareng-bareng aja?”

Gadis itu menatapku. Mungkin ia curiga. Bagaimanapun, aku adalah orang asing yang baru saja dikenalnya. Meski demikian, ia akhirnya mengangguk setuju.

“Oh iya, kita belum kenalan.” Aku menyodorkan tanganku.

“Stevie.” Aku memperkenalkan diri.

Gadis itu tersenyum dan menyambut uluran tanganku.

Lihat selengkapnya