Aku duduk di ruang tunggu sebuah bimbingan belajar. Anggi yang memberikan informasi jika di sini ada lowongan. Untuk menjadi tenaga pengajar tentunya. Dan aku merasa ironis melamar di sini mengingat aku sendiri malas belajar. Hanya saja, aku butuh pekerjaan jika tidak ingin tabunganku semakin menipis.
“Stephany, ya?” Seorang wanita muda berpakaian rapi dengan gaya kasual keluar dari ruangan dan menghampiriku.
“Iya.” Spontan aku berdiri dan bersalaman dengannya.
“Mbak bisa mata pelajaran apa saja?” tanya wanita tersebut.
“Apa saja. Saya dulu mengambil jurusan A1. Jadi, kalau matematika, fisika, kimia, saya rasa saya sanggup,” jawabku.
Wanita muda itu mengangguk.
“Mbak kuliah di mana?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
“Tidak kuliah?” Wanita itu memastikan. Sepertinya ia terkejut.
“Saya tidak lulus UMPTN.” Aku kembali menjawab.
“Oh.” Wanita muda itu menjawab pendek. Ia kembali membaca-baca berkas yang aku masukkan ke dalam map.
“Sebenarnya kamu masuk kualifikasi kami,” ujarnya. “Hanya saja, kami mencari mahasiswa.”
“Ehm … saya bisa mendaftar kuliah jika itu persyaratannya.” Aku mencoba menawar. Meski aku juga tidak tahu mau kuliah di mana.
Wanita itu tersenyum. “Mohon maaf, Mbak. Kami tidak bisa.”
Aku mencoba tersenyum.
“Karena fokus kami di sini adalah UMPTN. Nilai jual kami adalah jaminan pasti lulus UMPTN. Jadi, rasanya tidak mungkin jika kami mempekerjakan tenaga pengajar yang bukan mahasiswa.”
“Tapi, saya mungkin bisa, kan, untuk mengajar materi SMP?” Aku kembali menawar.
Wanita muda itu tersenyum, lalu menggeleng. “Maaf, Mbak. Tetap tidak bisa. Bagaimanapun, kami harus menjaga kualitas. Kalau mahasiswa, yah, kami percaya bahwa mereka pasti terpelajar.”
Aku lagi-lagi tersenyum getir. Maksudnya … aku bukan orang terpelajar, begitukah?
“Baik, Mbak. Terima kasih atas waktunya.” Aku mengambil kembali berkasku. “Saya permisi dulu.” Aku bersalaman dengannya, lalu keluar.
Ini adalah kesekian kalinya lamaranku ditolak. Tempat kerja yang kuincar rata-rata mencari sarjana. Lulusan S1, atau D3, atau paling tidak D1. Kalaupun ada yang menerima lulusan sekolah menengah, yang dicari adalah lulusan SMK[1], bukan SMA. Alasannya, lulusan SMK dianggap lebih siap dan terampil untuk bekerja dibandingkan dengan lulusan SMA.
Ah … andai saja dulu aku memilih untuk melanjutkan ke SMK. Apa saja. Entah itu SMEA[2] atau SMIP[3]. Atau STM[4] sekalipun. Setidaknya, itu membuatku memiliki bekal lebih untuk kabur dari rumah. Aku benar-benar ingin menyumpahi siapapun yang dulu mengatakan bahwa SMA lebih bergengsi daripada SMK.
Namun … ya sudahlah. Aku toh tidak begitu berminat dengan bimbingan belajar. Tahu sendiri, kan? Aku kan, malas sekolah. Dulu pun aku tidak pernah ikut les. Masakkan kini aku malah menjadi pengajar bimbingan belajar?
Anggi tadi mengatakan kalau mungkin pekerjaan ini cocok denganku karena mereka mencari lulusan SMA, terutama yang berasal dari jurusan A1. Sayangnya, yang mereka cari adalah mahasiswa, bukan orang gagal UMPTN sepertiku.
“Teh botolnya, A,” pintaku pada penjual minum kaki lima yang mangkal di pinggir Jalan Dago.
“Ini, Teh.” Ia menyerahkan sebuah botol berisi minuman yang telah dibuka tutupnya.