Life goes on. Aku akhirnya bekerja juga. Bukan pekerjaan yang kuimpikan, memang. Hanya saja, aku harus realistis. Siapa yang mau mempekerjakan lulusan SMA tanpa keahlian apapun? Jika ada yang bersedia “menampungku”, itu sudah lebih dari cukup. Reality bites!
Aku akhirnya bekerja di sebuah warung ala-ala kafe yang terletak di Jalan Dipati Ukur. Saat ini warung dengan konsep kafe memang sedang tren. Makanan dan minuman yang dijual sebenarnya biasa saja, tetapi diberi nama aneh-aneh untuk menarik perhatian, meski kadang tidak nyambung. Misalnya, nasi goreng Nirvana, bubur ayam Oasis, atau es krim kelelep Swampthing (yang ternyata adalah soda float, minuman bersoda dengan ditambahkan es krim). Aku jadi bersyukur dulu pernah belajar memasak dari Bi Darmi ketika menjalani hukuman skorsing. Setidaknya, kemampuanku tidak terlalu memalukan.
Pukul sembilan hingga sepuluh aku sudah harus hadir membantu persiapan. Sekitar pukul dua belas hingga satu siang adalah waktu ramai-ramainya karena bertepatan dengan jam makan siang dan istirahat para mahasiswa. Kemudian kesibukan menurun hingga sore dan mulai ramai lagi ketika memasuki jam makan malam.
Jam kerjaku adalah dari pagi hingga sore. Setelah magrib, biasanya aku sudah boleh pulang dan tempatku digantikan oleh karyawan berikutnya. Namun, karena pemilik kafe menawarkan uang lembur, aku sering memilih untuk bertahan hingga malam, bahkan hingga kafe tutup. Aku jadi seperti orang yang tidak punya kehidupan. Namun, di luar jam kerja pun aku juga tidak punya siapa-siapa. Paling hanya Anggi. Itu pun dia hampir selalu sibuk dengan tugas-tugas dari kampusnya. Aku hampir tidak pernah mengobrol banyak dengan Anggi. Agak tidak enak juga sebenarnya mengingat kami patungan membayar sewa kamar.
Sejujurnya, aku merasa jenuh dengan rutinitasku saat ini. Kondisiku jauh lebih terikat dibanding ketika aku masih sekolah. Dulu, aku tinggal membolos jika aku tidak suka dengan sekolah. Namun, kini suka tidak suka aku harus berada di tempat kerja hingga jam kerja usai. Jika tidak, siap-siap saja uang harianku dipotong. Bahkan, ketika aku izin sakit pun tetap saja upahku dipotong. Ini bukanlah kehidupan yang kuimpikan. Namun, aku tidak punya pilihan karena aku butuh uang. Aku tidak mungkin terus-menerus menghabiskan uang tabunganku, kan?
Dunia kerja benar-benar membuatku lupa waktu. Rutinitas yang jauh lebih menjemukan dibanding masa SMA membuatku tidak sadar ketika waktu berjalan seolah terlalu cepat. Tahu-tahu setahun sudah berlalu semenjak aku meninggalkan rumah. Aku menyadarinya ketika melihat Anggi kembali mulai sibuk dengan kegiatan OSPEK di kampus. Bedanya, jika dulu ia menjadi peserta, kini ganti ia yang menjadi panitianya. Hampir setiap hari Anggi pergi ke kampus bukan untuk kuliah. Ketika kutanya, jawabannya adalah ada kegiatan rapat untuk mempersiapkan penyambutan mahasiswa baru.
Hari ini, aku melihat sebuah mobil terparkir di halaman depan ketika aku pulang kerja. Aku rasanya tidak pernah melihat mobil itu sebelumnya.
“Assalamualaikum.” Aku memberi salam ketika melihat seorang pria paruh baya tengah duduk di ruang tamu.
“Wa alaikum salam.” Sebuah suara yang lain menjawab. Si pemilik suara itu menoleh.
“Eh, Anggi.” Aku terkejut.
“Udah pulang, Stev?” Anggi berdiri, lalu menarik lenganku.
“Yah, kenalin, ini Stevie, temen sekamarku.”
Aku spontan mengulurkan tanganku ke pria paruh baya itu.
“Stevie.” Aku memperkenalkan diri basa-basi.
Pria paruh baya itu menyambut uluran tanganku dan tersenyum.
“Saya ke kamar dulu, Om.” Aku pamit dan menuju kamarku.
“Iya. Silakan,” jawab pria itu. Ia sepertinya tidak mengacuhkanku.
Aku menutup pintu kamar dan merebahkan badan di atas kasur. Mataku ingin terpejam. Hanya saja, percakapan antara Anggi dan ayahnya tak urung membuatku penasaran. Aku akhirnya malah menguping pembicaraan mereka.
“Kapan kamu mau serius?” Suara berat ayah Anggi terdengar bertanya.
“Anggi serius, kok, Yah.”
“Serius? Kalau kamu serius, kenapa banyak sekali mata kuliah yang harus kamu ulang? Ini, kan, mata kuliah dasar. Harusnya gampang.”
“Susah, Yah.”
“Itu karena kamu nggak serius belajar.”
“Ayah….”
“Dengar, ya.” Suara berat pria itu kembali terdengar. “Dulu kamu nggak serius kuliah kedokteran. Makanya kamu DO[1]. Ayah dan Ibu maklum karena mungkin kuliah di situ susah. Tapi ini planologi, nggak terlalu susah seharusnya, karena banyak hafalannya, tidak terlalu banyak berhitung kayak teknik yang lain. Tapi, ini kamu malah banyak yang nggak lulus.”
“Tetap saja susah, Yah.”
“Ya itu karena kamu nggak serius!”
Hening.
“Kapan, sih, kamu mau serius? Kamu mau DO lagi?”
“Anggi waktu itu, kan, nggak suka kuliah kedokteran.”
“Kalau kamu nggak kuliah kedokteran, itu artinya kamu menyia-nyiakan kemampuan kamu karena nilai kamu bagus.”