Stevie: Sebuah Catatan Remaja Biasa

Nadya Wijanarko
Chapter #21

SEGURAT SENYUM

Pagi ini aku kembali ke kafe. Seperti kemarin, aku kembali menjalani rutinitas yang sama—yang kali ini benar-benar ingin membuatku bertanya: apa yang aku lakukan di sini? Kafe belum buka. Aku tengah sibuk mengatur kursi dan mengelap meja. Sementara, Ricki sibuk di dapur. Masih pukul sepuluh pagi dan biasanya pada waktu seperti ini memang belum ramai. Biasanya, kafe baru ramai sekitar pukul dua belas siang nanti.

Aku tengah mengelap meja ketika aku melihat sosok pemuda aneh yang beberapa hari lalu sempat membuatku repot. Tanpa basa-basi, ia langsung duduk dan menggelar buku sketsanya.

Melihatnya, aku bengong. Masih dengan kaos oblong, celana jin bolong, pun rambutnya masih gondrong. Bahkan, kali ini sepertinya ia lupa menyisir rambut. Atau jangan-jangan baru bangun tidur.

Teh!” Tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya dan memanggilku.

Aku pun tersentak. “Iya.” Spontan, aku segera menghampirinya sambil mengeluarkan catatan kecil dari saku celanaku.

“Pesan mi goreng, ya?” pintanya.

Aku segera mencatatnya. “Pakai kuah lagi?” Aku teringat pada pesanannya yang aneh waktu itu.

“Iyah,” jawabnya pendek.

Tangannya kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ransel bututnya. “Tolong tambahkan ini juga, ya, Teh?”

Aku memelotot demi melihat benda yang ia sodorkan kepadaku: dua renteng petai!

“Petainya mau diapakan, A?” Sumpah! Aku benar-benar bingung!

“Direbus saja,” ujarnya cuek. Matanya kembali tertuju pada buku sketsa sambil tangannya mulai sibuk menggores dengan pensil.

“Memangnya enak?” Aku kembali bertanya sambil menatap rentengan petai yang kini sudah berpindah ke tanganku.

“Nggak tahu,” ujarnya cuek.

“Yang bener, dong!” Aku mulai kesal.

“Ya udah. Digoreng aja,” ujarnya, masih cuek.

“Jadinya direbus atau digoreng?”

“Terserah! Pokoknya dicampur petai!” Nada suara pemuda itu terdengar meninggi.

Huft! Aku berusaha menahan sabar. Andai saja tidak ingat kalau aku sedang bekerja, mungkin aku sudah menimpuk wajahnya dengan sepatu!

Teh, jangan galak-galak atuh!” Ricki mengingatkan.

“Siapa yang galak?” Aku masih berkonsentrasi dengan meja yang harus kubereskan. Pemuda tadi sudah pergi

“Ya, Teh Evie tadi barusan.”

“Aku nggak galak, kok! Dianya aja yang rese!” Aku masih kesal dengan pemuda itu. Sudah pesan menu aneh, pakai protes pula!

“Ya maksud ari, teh, yang namanya pembeli nggak pernah salah. Pembeli itu raja, Teh.”

Aku mendengkus kesal. “Iya, tapi raja juga nggak boleh semena-mena, kan? Pesan makanan aneh-aneh saja. Sudah mi gorengnya minta pakai kuah, pakai ditambah petai segala. Apaan tuh?”

“Ya … mau bagaimana lagi, Teh?” Ricki menghampiriku dan membantu mengelap meja.

“Ini buku siapa, ya?” Ricki mengambil sebuah buku.

Aku mengambil buku itu dari Ricki dan membukanya. Buku itu bentuknya memanjang seperti buku tulis, tetapi berisi kertas polos seperti buku gambar. Dalamnya terdapat berbagai sketsa berantakan yang digambar dengan pensil. Sepertinya milik pemuda aneh tadi.

Aku melihat sampul depannya. Tertulis di pojok kanan atas: Abrisam Al Anshori, Arsitektur ITB ’95.

Teteh anterin, gih,” pinta Ricki.

“Loh, kok saya?”

“Ya, kan, Teteh yang kenal.”

“Aku nggak kenal.” Aku mencoba menolak.

“Tapi, kan, Teteh yang ingat mukanya.” Ricki masih memaksa.

Aku menghela napas dalam-dalam.

“Buruan, Teh. Mumpung belum rame,” pinta Ricki lagi.

“Ya udah, aku antar. A Ricki jaga di sini, ya?” Aku akhirnya mengalah.

Lihat selengkapnya