Gara-gara Abby, aku akhirnya terlambat kembali ke kafe. Memang, sih, aku diantar Abby. Namun, aku harus mengganti jam kerjaku. Walhasil, aku hari ini pulang lebih malam dari biasanya.
Sebuah mobil terparkir di halaman rumah kos. Tampaknya itu adalah mobil milik ayah Anggi. Aku melirik sekilas ke arah dalam. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin Anggi dan ayahnya sedang berbicara di dalam kamar. Jadi, aku memilih untuk menunggu di luar saja.
Aku duduk di tanggul teras dan menyalakan rokok untuk mengusir kebosanan. Tak lupa aku keluarkan juga pager mungil sambil berharap ada pesan masuk dari Samantha. Dan seperti yang sudah-sudah, hingga hari ini hanya baris tanggal dan jam saja yang terpampang. Tak ada satu pun pesan yang masuk.
“Mbak, maaf. Mbak temennya Anggi, kan, ya?” Suara berat pria yang sebelumnya pernah kudengar tiba-tiba mengajakku bicara.
Aku tersentak dan spontan mematikan rokokku. Bagaimanapun tidak sopan berbicara dengan orang tua sambil merokok.
“Iya, Om,” jawabku sopan, lalu berdiri.
“Anggi, kok, belum pulang, ya?” tanyanya.
“Wah, kurang tahu, ya, Om,” jawabku sebisanya. Aku juga tidak tahu karena aku pikir Anggi sedang di dalam—makanya aku tidak ingin mengganggu.
Aku terakhir bertemu Anggi tadi pagi. Ia memang keluar duluan. Namun, aku memang tidak bertanya ia ke mana. Tebakanku, ya, paling ke kampus.
“Mungkin masih ngurusin OSPEK, Om.” Aku kembali menjawab. Aku ingat siang tadi memang banyak mahasiswa baru yang menjalani kegiatan OSPEK dan setahuku Anggi memang menjadi salah satu panitianya.
“Buat apa, sih, ngurusin OSPEK?” Nada suara ayah Anggi terdengar agak kesal.
Aku tidak berkomentar.
“Pantas saja nilainya jeblok. Mestinya dia tidak usah mengikuti kegiatan di luar kuliah, cukup belajar yang rajin saja,” sungutnya.
Aku hanya diam dan berusaha tersenyum. Menghadapi orang tua yang sedang kesal bukan keahlianku.
“Kamu sendiri nggak ikut jadi panitia OSPEK?” tanyanya.
“Saya nggak kuliah, Om,” jawabku.
Mendengar jawabanku, raut wajahnya seperti terkejut. Aku pun menunduk.
“Terus, kamu ngapain di sini?” Ia memandangku dari ujung rambut hingga kaki.
“Saya kerja, Om.”
“Oh, kerja?” Ia semakin menyelidik.
Aku mengangguk.
“Di mana?”
“Di kafe depan situ, Om.” Aku menunjuk asal ke arah Jalan Dipati Ukur.
“Pelayan?”
Aku kembali mencoba tersenyum. Jujur, aku tidak suka dengan nada suaranya yang seolah merendahkan diriku.
“Ya sudah. Saya akan tunggu Anggi sampai pulang,” ujarnya, lalu kembali masuk rumah.
“Iya, Om,” jawabku basa-basi.
Aku kembali duduk di tanggul. Tanganku merogoh ke dalam tas untuk mengambil rokok. Namun, yang terambil malah buku. Tadinya aku mau memasukkannya kembali ke dalam tas, hingga kemudian aku melihat tulisan di pojok kanan atasnya: Abrisam Al Anshori, Arsitektur ITB ’95.